Oleh : Nomensen Banunaek Banyak berita seputar perilaku seks bebas di kalangan remaja mewarnai media massa di Lampung pada tahun ini. Terbaru beberapa waktu yang lalu masyarakat Lampung dikejutkan dengan berita pembunuhan sadis akibat tindakan aborsi seorang mahasiswi oleh seorang dukun bayi. Sebelumnya juga sempat heboh beredarnya video adegan âpanasâ dua remaja di sebuah kamar kos di Kota Bandar Lampung. Belum lagi berita video mesum sepasang PNS dari Pemda setempat. Terlepas dari penyelesaian secara hukum, dari fenomena tersebut bukanlah saat yang tepat untuk mencari siapa yang bersalah, tetapi bagaimana caranya antara pemerintah dan masyarakat dapat bekerjasama mencari alternatif solusi mengatasi akar permasalahan secara bersama. Setumpuk permasalahan perilaku seks bebas remaja sebenarnya sudah bukan lagi rahasia umum dan ini hanyalah pucuk dari gunung es yang tampak dan sempat terekspos oleh media. Entah berapa lagi kasus pergaulan bebas remaja yang tidak muncul kepermukaan. Padahal cukup banyak sudah topik ceramah atau seminar tentang permasalahan remaja yang berulang kali diangkat dari berbagai sudut pandang agama, kesehatan, dan sosial baik oleh pemerintah maupun LSM. Tetapi hasilnya belum juga dapat menurunkan tingkat resiko yang timbul. Bahkan seolah bersaing dengan perkembangan teknologi informasi. Sebagai kelompok terbesar dalam struktur penduduk Indonesia dimana dari 200 juta penduduk ada hampir lebih dari 30% adalah remaja dengan kedudukannya yang unik dalam masyarakat karena digolongkan pada usia peralihan (pubertas) dari masa anak-anak ke masa dewasa. Di Bandar Lampung sebanyak 32 % dari 844.608 jiwa penduduk adalah usia remaja (10 â 24 tahun; UNFPA). Hasil Survey BKKBN bekerjasama dengan LD-FEUI pada tahun 1999 terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15 - 24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung) terpapar data sebanyak 46,2% remaja beranggapan bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Sebuah survei yang juga pernah dilakukan di 4 kota (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Lampung) pada 450 responden yang berusia antara 15 â 24 tahun diketahui sebanyak 37 % responden laki-laki mengaku merencanakan untuk berhubungan intim saat pacaran dan sebanyak 39% responden perempuan mengaku selalu dibujuk untuk berhubungan intim saat pacaran. Sedangkan tempat favorit dan aman menurut responden untuk melakukan aktivitas seksual adalah di rumah, tempat kost, dan hotel. (Kompas, 28 Januari 2005) Buta atau Tabu? Kekurang tahuan orang tua terhadap pengetahuan yang jelas dan benar serta memadai tentang aspek-aspek perkembangan putra-putrinya menjadi permasalahan bagi remaja untuk memperoleh penjelasan yang tepat. Pada kenyataannya, orang tua masih merasa risih atau segan bahkan tidak mengerti cara yang tepat untuk berdiskusi tentang perkembangan biologis, psikologis serta permasalahan kesehatan reproduksi dengan putra-putrinya. Pembicaraan tentang kesehatan reproduksi masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu, apalagi dibicarakan dengan remaja. Orang tua merasa khawatir akan memicu putra-putrinya untuk melakukan hal-hal yang dianggap tabu tersebut. Padahal, keinginan untuk tahu dan mencoba sesuatu yang baru itu akan selalu ada pada karakter remaja. Pada saat itulah fungsi orang tua membimbing putra-putrinya agar tidak salah arah. Tentunya dengan cara memberikan penjelasan yang benar dan jelas kepada mereka. Anak-anak terlebih lagi anak perempuan perlu diperkenalkan sejak dini tentang fungsi dan cara merawat organ reproduksinya. Mulai dari menjaga kebersihan organ, misalnya cebok sehabis âpipisâ untuk menghindari jangan sampai terserang penyakit. Itu adalah bentuk kecil peran orangtua dalam mengajarkan kesehatan reproduksi kepada anaknya. Ketika anak beranjak remaja, sudah saatnya para orangtua mulai terbuka berbicara tentang permasalahan yang sensitif ini. Diskusikan dengan anak resiko-resiko yang akan muncul apabila tidak bisa menjaga organ reproduksinya. Berikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada anak untuk dapat menilai sendiri atas apa yang dilakukan. Dan luangkan waktu untuk anak bertanya. Memang kompleks sekali permasalahan ini, orang tua mengalami hambatan dalam menjelaskan permasalahan kespro karena menganggap tabu. Sang Anak juga kurang dapat menghargai pengetahuan yang disampaikan oleh orang tuanya, berbeda kalau yang menyampaikan itu guru, dokter atau ulama-ulama. Anggapan tabu ini mengakibatkan kepercayaan diri orang tua kecil dalam memberikan penjelasan. Akibatnya juga, proses untuk memberikan kepercayaan diri dan bekal pengetahuan bagi putra-putrinya pun membutuhkan waktu yang lama. Pada akhirnya, semuanya dianggap sudah terlambat. Remaja akan lebih mudah memahami dan mengerti tentang perubahan yang terjadi dalam dirinya itu bila penjelasan dan pengarahan tersebut diberikan dalam suasana yang dipenuhi keterbukaan dan keharmonisan. Hal tersebut tidak hanya harus diberikan oleh teman sebaya, guru, dokter atau ulama; orang tua juga memiliki peran yang sangat besar karena waktu luang yang paling banyak bagi remaja ada dalam keluarga. Proses peralihan pada remaja yang terjadi bukan saja fisik dan mental, tetapi juga terjadi perubahan secara berangsur-angsur pada sistim reproduksinya yang menjadi matang dan berfungsi seperti halnya orang dewasa. Setiap perubahan bagaimana pun akan menyebabkan timbulnya goncangan bagi individu remaja yang mengalami. Pendidikan kesehatan reproduksi (kalau tidak mau disebut Sex Education) sangat penting untuk diketahui sejak dini agar pada saat seseorang menginjak usia remaja telah mendapatkan informasi yang cukup sehingga mengetahui hal-hal yang seharusnya dilakukan dan hal-hal yang seharusnya dihindari ketika menghadapi permasalahan seputar organ reproduksinya. Pada umumnya remaja itu dalam masa transisi merasa enggan untuk mencari penjelasan pada orang tua tentang permasalahan yang terjadi pada dirinya yang secara nyata sedang dihadapinya. Alhasil, teman sebaya sebagai gantinya. Sebagaimana hasil survey yang dilakukan di 4 kota (Jakarta, Bandung, Surabaya dan Lampung) terhadap 450 responden yang berusia antara 15 â 24 tahun terpapar data sebanyak 65% responden mendapat informasi tentang seks dari teman dan 35% selebihnya menyatakan mendapat informasi dari hasil nonton film. (Kompas, 28 Januari 2005). Pertemanan bagi remaja adalah hal yang sangat dihargai, jalinan komunikasi cenderung lebih terbuka dan baik daripada dengan orang tua. Memang, dengan temen (apalagi sahabat) cenderung dapat menyimpan rahasia. Setiap masalah rasanya dapat dipecahkan bersama-sama, terutama masalah dengan orangtua atau keluarga. Di waktu-waktu istirahat sekolah, nongkrong atau belajar bersama, mereka bakal mencari tahu dari temen-temen dekatnya tentang masalah kesehatan reproduksi khususnya. Sayangnya, karena sama-sama belum tahu secara benar, akibatnya informasi yang diterima banyak disalah artikan, malah dengan sengaja diselewengkan. Oleh karena itu keberadaan peer Educator sangat diperlukan oleh remaja untuk mendapat informasi yang benar untuk dapat menjawab pertanyaan temen-temen sendiri tentang kesehatan reproduksi. Bila penjelasan diperoleh dengan benar dan tepat, pastinya hal tersebut bisa membantu perkembangan remaja di masa mendatang. Disitulah fungsi pendidikan dan informasi kesehatan reproduksi diperlukan. Informasi itu diberikan biar remaja tidak salah tafsir dan tahu dampak-dampak dari perilaku seksual. Apabila dapat informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi paling tidak mulai pikir-pikir terhadap perilakunya yang ujung-ujungnya biar remaja lebih bertanggung jawab, menghargai dan memelihara tubuhnya tetap sehat. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Skala-PKBI Lampung, sebuah LSM yang sejak tahun 1995 mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan Kesehatan Reproduksi Remaja telah melakukan berbagai upaya mulai dari ceramah, diskusi, dan seminar atau talk-show di radio bahkan membuka hotline untuk konsultasi tentang berbagai permasalahan remaja. Dan dalam empat tahun terakhir ini dengan didukung World Population Fund telah mengembangkan dan melakukan uji coba modul pendidikan kesehatan reproduksi khusus berbasis teknologi komputer yang diberi nama Modul Daku! (Dunia Remajaku Seru). Bila sejak awal orangtua mampu mengajarkan anak tentang resiko yang akan ditanggung akibat tidak menjaga organ reproduksinya, maka anak-anak akan terhindar dari perilaku seks bebas dan menghargainya sebagai sesuatu yang sakral . Dan yang paling penting adalah memberikan penghargaan sebagai pribadi yang utuh, yang mampu bertanggung jawab atas diri sendiri. Jangan sampai keyakinan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi itu tabu mengakibatkan remaja buta akan informasi yang benar dan jelas yang menyangkut masa depannya. |
Sabtu, 25 Oktober 2014
PERMASALAHAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar