Sabtu, 25 Oktober 2014

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)


2.1. SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga)
A.    Pengertian
SKRT merupakan survei periodik yang dilaksanakan oleh badan penelitian dan pengembangan (Litbang) kesehatan berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang dikumpulkan dalam SKRT mengacu pada program World Health Survey (WHS), yaitu:
1.    Mengumpulkan data dasar kesehatan masyarakat yang menyeluruh.
2.    Memonitor indikator Millenium Development Golds (MDGs) yang berhubungan dengan kesehatan
3.    Pengembangan sistem kesehatan menurut sudut pandang masyarakat.
B.    Tujuan SKRT
Tujuan SKRT adalah menyediakan data dan informasi kesehatan dari sudut pandang masyarakat untuk dukungan evidence bassed planning di Indonesia.
C.    Instrumen SKRT
Cakupan/muatan kesehatan pada instrumen SKRT lebih komprehensif daripada Modul atau Kor Susenas. Instrumen SKRT terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
a.         Rumah tangga (meliputi seluruh anggota rumah tangga)
b.        Responden terpilih (diwakili 1 anggota rumah tangga diwakili usia > 15 tahun)
c.         Pengukuran (tinggi badan, berat badan, lingkar lengan tangan, tekanan darah)
d.        Pemeriksaan laboratorium (Hb, gula darah, kolesterol)

2.2.  SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional)
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) adalah survei rumah tanggamengenai berbagai karakteristik sosial-ekonomi penduduk, terutamayang erat kaitannya dengan pengukuran tingkat kesejahteraanmasyarakat. Secara umum perkembangan kegiatan Susenas dapat dibagi ke dalam 2tahap; tahap I antara 1963-1991, dan tahap II mulai 1992 sampaidengan sekarang. Susenas dilaksanakan pertama kali tahun 1963dengan sampel 16.000 rumah tangga dan hanya dilaksanakan di PulauJawa. Karakteristik yang dicakup adalah demografi, ketenagakerjaandan konsumsi/pengeluaran dengan pendekatan rumah tangga biasa.Sampai dengan tahun 1970, Susenas dilaksanakan sebanyak 4 kali, dengan cakupan wilayah dan ukuran sampel berbeda.
Pelaksanaan Susenas pertama sampai dengan keempat seluruhnya dibiayai dan dibantu secara teknis oleh UN. Susenas tahun 1964-1965 sudah mencakup seluruh propinsi, kecuali Maluku dan Irian, dan pada kegiatanSusenas tahun 1967, cakupan lokasinya berkurang hanya meliputi PulauJawa. Pada tahun 1969-1970, Susenas kembali mencakup seluruhpropinsi, kecuali Maluku dan Irian. Susenas ke-5 dilaksanakan tahun 1970, dengan dana seutuhnya daripemerintah dan ditangani seluruhnya oleh BPS, dengan cakupansampel yang sama dengan tahun sebelumnya. Selanjutnya untuk tahun1971-1975, BPS tidak menyelenggarakan kegiatan Susenas. Susenas dilaksanakan kembali tahun 1976 dan sejak tahun 1978, Susenas sudah dapat dilaksanakan setiap tahun sekali melalui danapemerintah, kecuali tahun 1983 karena bersamaan dengan kegiatan Sensus Pertanian dan tahun 1988 yang bersamaan dengan kegiatanSurvei Biaya Hidup (SBH).
Pada tahun 1980-1991 banyak instansi sektoral meminta agar Susenas juga mencakup kebutuhan data sektor, antara lain, Ditjen Pariwisatameminta memasukkan materi perjalanan wisata, DepartemenKesehatan (Depkes) menambahkan materi antropometri (penimbanganbalita) dan kesehatan, pada tahun 1986, dan Kepolisian RepublikIndonesia menambahkan materi pertanyaan kriminalitas. Dalam tahap tersebut secara umum banyak topik (materi pertanyaan) yang masuk kedalam Susenas, antara lain fertilitas, pendidikan, kesehatan, perumahan,sosial-budaya, perjalanan, dan kriminalitas. Sampai dengan tahun 1981 Susenas dianggap sebagai survei konsumsi/pengeluaran, karena materi konsumsi rumah tangga selalu hadir,sementara topik lain tidak tentu. Karena cakupan materi semakin banyak, maka sejak tahun 1981 materi konsumsi rumah tangga dipisahsendiri dan dijadwalkan 3 tahun sekali, sehingga Susenas identik dengan Survei Konsumsi, sementara materi kesehatan, pendidikan,sosial-budaya, perjalanan dan kriminalitas juga dilaksanakan 3 tahun sekali di antara tahun-tahun penyelenggaraan materi konsumsi rumahtangga atau tergantung kebutuhan pendataan. Sampai dengan tahun1990 hanya materi konsumsi rumah tangga yang mengikuti jadual tigatahun sekali, sementara yang lainnya tidak tentu.
Sejak tahun 1992 terdapat dua set daftar pertanyaan, yaitu kor untukestimasi sampai dengan kabupaten/kota dan modul untuk estimasipropinsi. Untuk sampel kor dan modul yang informasinya berasal darirumah tangga yang sama, sebenarnya kedua data tersebut digabungkanuntuk memperoleh informasi yang lebih detil dan lengkap, sayangnyainformasi yang lengkap tersebut hanya cukup untuk mendapatkanindikator di tingkat propinsi saja.
a.         Perkembangan Materi Susenas
Dikembangkannya materi Susenas pada tahun 1992 denganmengenalkan istilah Kor Susenas (inti), dan Modul Susenas(sasaran/rinci), karena semakin banyaknya materi yang disertakan didalam setiap kegiatan Susenas, sehingga perlu dipikirkan indikator apasaja yang selalu dibutuhkan setiap tahun dan indikator lainnya yangcukup tiga tahun sekali.
Sebelum tahun 1992 yang disebut Kor adalah 5(lima) karakteristik demografi yang selalu ada dalam setiap Susenasyaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin,umur, dan status perkawinan.Setelah melakukan seleksi dan uji coba terhadap daftar pertanyaan yangdianggap selalu diperlukan setiap tahun dan dapat dibandingkan antar-wilayah secara berlanjut, maka dibentuklah daftar tersendiri yang disebutdaftar Kor. Untuk dapat menyediakan data penting bidang sosial secara rutin (tahunan) dengan indikator yang terjaga ketersediaannya, makamulai tahun 1992 data Kor ditetapkan untuk mencakup berbagai aspekkesejahteraan rumah tangga, antara lain: demografi, kesehatan,pendidikan, ketenagakerjaan, sosial-budaya, fertilitas dan KB,perjalanan, kriminalitas, perumahan, dan konsumsi/pengeluaran.
Sejak tahun 1993, materi Kor dikumpulkan setiap tahun, materi Modulsetiap 3 tahun secara bergantian. Modul yang dicakup Susenasdikelompokkan ke dalam 3 paket, dengan frekuensi pengumpulandatanya 3 tahun sekali. Data modul tersebut adalah:i. Konsumsi, pengeluaran dan pendapatan, tahun 1990, 1993, 1996,1999, 2002, dan 2005;ii. Sosial-budaya, perjalanan, kriminalitas, dan kesejahteraan rakyat(kesra), tahun 1991, 1994, 1997, 2000, 2003, dan 2006, namunmodul perjalanan dan kriminalitas sejak tahun 2000 tidak lagi beradadi dalam Susenas sehingga di tahun-tahun tersebut modulnya adalahsosial-budaya dan pendidikan);iii. Kesehatan, pendidikan, dan perumahan, tahun 1992, 1995, 1998,2001, 2004, dan 2007, dan karena kebutuhan khusus maka tahun2001 diselenggarakan modul kesehatan dan perumahan.
b.        Pelaksanaan Pengumpulan Data
Petugas pencacah sebelumnya sudah dilatih dengan menerapkan sistem pelatihan berjenjang. Tahap awal dilatih petugas Intama(instruktur utama) oleh Master Intama. Intama, yang telah mendapatmateri pelatihan, memberikan pelatihan ke Innas (instruktur nasional). Innas kemudian melatih petugas pewawancara dan pengawas. Pencacahan dilaksanakan oleh petugas pewawancara pada bulanPebruari setiap tahun, dengan menggunakan metode wawancaralangsung (mendatangi rumah tangga terpilih). Setiap petugas mewawancarai paling sedikit 16 rumah tangga (satu blok sensus) danpaling banyak 48 rumah tangga (tiga blok sensus). Setiap 3–5 petugaspencacah diawasi oleh satu orang petugas pengawas.Dengan pola tersebut, setiap kali menyelenggarakan pelatihan Susenasmaka akan dibutuhkan petugas Master Intama dan Intama antara 50 –60 orang, petugas Innas antara 150 – 200 orang, dan petugas pencacahdan pengawas ± 16.000 orang. Ada dua pola petugas pencacah yang pernah diterapkan melaksanakantugas wawancara di daerah untuk sampel Kor dan Modul, yaitu:
1.        Menugaskan satu orang petugas pewawancara di satu rumahtangga untuk mewawancarai daftar Kor dan Modul menggunakandua daftar pertanyaan sekaligus.
2.        Menugaskan petugas Kor yang berbeda dengan petugas Modul disatu rumah tangga yang sama, atau satu rumah tangga ada duapetugas.
Dengan pola pertama, sulit untuk menghindari terjadinya human error dan kenakalan petugas untuk merekayasa pengisian daftar. Denganpola kedua bisa terjadi human error  dari sisi perbedaan kualitas antar-petugas dan jawaban responden yang bisa berbeda karena didatangidua kali. Kemungkinan responden memberikan jawaban berbeda jikawawancara dilakukan dalam waktu yang berbeda. Kemungkinan lainadalah jika petugas Kor mewawancarai kepala rumah tanggasedangkan petugas Modul mewawancarai istri kepala rumah tangga.Akibatnya pengisian dokumen Kor dan Modul bisa terjadi tidakkonsisten.Pola yang paling ideal, adalah wawancara dilakukan oleh tim(kelompok pewawancara), sehingga dapat diminimalkan tingkatkesalahan baik dari sisi petugas maupun responden, hanya saja modelyang ideal ini membutuhkan dana pencacahan yang cukup besar.Lamanya waktu wawancara untuk setiap rumah tangga tergantung dari jenis daftar, banyaknya anggota rumah tangga, dan lokasi sampel:
1.        Rata-rata lama waktu wawancara daftar Kor antara 1-1,5 jam,
2.        Rata-rata lama waktu wawancara daftar Modul Konsumsi 1.5-2.5 jam,
3.        Rata-rata lama wawancara daftar Modul Kesehatan, Pendidikan,Perumahan, Sosial Budaya) masing-masing 0.5-1.5 jam.
Dengan demikian, untuk rumah tangga yang terpilih sampel Kor sajadibutuhkan waktu berkisar antara 1-1,5 jam tergantung banyaknyaanggota rumah tangga, sedangkan rumah tangga yang terpilih sampelKor dan Modul Konsumsi lama wawancara berkisar antara 2-3.5 jam,dan untuk yang terpilih sampel Kor dan Modul yang lain membutuhkan waktu antara 2-2,5 jam. Akan berbeda pula waktu yang dibutuhkan untuk lokasi wawancara di daerah perkotaan dan perdesaan, biasanya wawancara di perkotaan lebih lama dibanding perdesaan karena dikota pola konsumsi bisa sangat beragam sedangkan di perdesaan pola konsumsi lebih sederhana.
c.         Management Pengolahan Data Susenas
Sistem pengolahan data dilakukan dengan prinsip sentralisasi dan desentralisasi pengolahan. Pada tahun-tahun 1963-1991, system pengolahan data menggunakan computer main frame dengan menggunakan bahasa program Cobol dan Fortran, sehingga pelaksanaan input data (edit, entry ) dilaksanakan seluruhnya di BPSpusat. Pengolahan data dengan komputer main frame membutuhkan waktuyang cukup lama, satu kegiatan Susenas baru diperoleh hasilnya dalam waktu satu tahun lebih, setelah dokumen dari lapangan melaluiproses pengolahan, sehingga publikasi Susenas kala itu sudah tidak up-to-date  karena tertinggal 1-2 tahun. Proses pengolahan input datasampai clean data memerlukan waktu yang lama karena melaluibeberapa putaran (system input data yang berulang). Biasanya untuk sampai clean data dibutuhkan proses input  data sampai dengan 3-5putaran, tergantung dari kualitas hasil pengisian lapangan dan editing  petugas.Di tahun 1992, system pengolahan beralih ke Personal Computer (PC )dengan menggunakan software  ISSA ( Integrated System for Survei Analysis) dengan sistem berbasis DOS sampai dengan tahun 1999.
Dengan menggunakan system input  data ISSA, telah terjadi percepatanpengolahan data, karena sistem ini selain berbasis pada sistem PC juga menerapkan prinsip interaktif  , yaitu pada saat berlangsungnya proses input data  secara langsung program sudah bisa menjagakonsistensi antar-isian dan antar-blok pertanyaan, dan range interval isian kode untuk setiap pertanyaan. Dengan demikian, proses input data tidak lagi menggunakan prinsip ”putaran input data”, karena hasil entry  data dalam satu kali input data sudah menghasilkan data clean.
Proses pengolahan data mulai dari dokumen hasil lapangan sampaitabulasi membutuhkan waktu 4-6 bulan, sehingga publikasi sudahdapat diselesaikan pada akhir tahun yang sama.Kemudian di tahun 2000-2004 sistem data input Susenasmenggunakan CSPro yang merupakan pengembangan ISSA dengansistem yang berbasis Windows. Akan tetapi untuk tahun-tahunSusenas dengan Modul Konsumsi (1993, 1996, 1999, dan 2002), ISSAtidak bisa diterapkan karena keterbatasan kemampuan sehinggadigunakan suatu sistem dengan bahasa Cobol.
Pada tahun tersebut sudah dikembangkan bahasa Cobol for PC dengan sistem yangdirancang dengan pola interaktif, sehingga waktu pengolahan datasudah semakin cepat.Sesuai dengan ketersediaan teknologi informasi (TI) yang semakinmaju, maka Susenas mengembangkan system input datanya di tahun2005 dengan menggunakan system PHP My SQL for PC untuk daftar Kor maupun Modul Konsumsi. Karena di BPS propinsi dan BPSkabupaten/kota masih ada keterbatasan sumber daya manusia sertafasilitas komputer belum seluruhnya memadai, maka tahun 2006pengolahan input  datanya kembali menggunakan CSPro.Dengan tersedianya PC di setiap propinsi, maka sejak tahun 1993pelaksanaan input  data untuk dokumen Kor dan Modul secarabertahap diserahkan ke BPS daerah.
Awalnya, hanya dokumen Kor saja diserahkan ke propinsi untuk melaksanakan input data, walaupun ada beberapa propinsi yang belum sanggup melaksanakannya (khususnya untuk daerah Indonesia Timur). Kemudian secara bertahap di tahun 1995, seluruh propinsi sudah dapat melaksanakan entry  daftar Kor saja. Pada tahun-tahun tersebut, BPS pusatmelaksanakan input  data Modul dan Kor pasangannya. Sejak tahun 1996 sampai dengan sekarang, secara bertahap pelaksanaan entry  data Kor sudah dapat dilaksanakan di BPS kabupaten/kota, sedangkan propinsi melaksanakan entry  dokumen Kor yang punya pasangan Modulnya, sementara itu BPS pusat melaksanakan entry data daftar Modul saja.
Peranan BPS pusat disamping melaksanakan input data modul, juga melaksanakankompilasi hasil entry data Kor dari seluruh kabupaten/kota kemudianmenguji kualitas hasil entry tersebut dan mengecek kelengkapan hasil entry data sesuai dengan target sampel. Selanjutnya dilakukan revalidasi dan uji konsistensi datanya, sehingga data yang dihasilkansudah bersih (clean data). Rencana sistem pengolahan data di tahun mendatang, baik Kor maupun Modul, diharapkan bisa ditangani seluruhnya di propinsi dankabupaten/kota, sehingga peranan BPS pusat lebih fokus hanyamenyiapkan system input  data, kompilasi, validasi dan tabulasi. Untuk dapat meningkatkan pemanfaatan data Susenas di tingkatkabupaten/kota, maka secara bertahap sejak tahun 1995 telahdilaksanakan pelatihan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan mengadakan pelatihan-pelatihan teknis pengolahandan analisa data Susenas dengan menggunakan software  SPSS.Upaya dilakukan bertahap, dari jenjang propinsi kemudian kekabupaten/kota. Peserta pelatihan tidak saja dari unsur statistik akantetapi juga dari instansi lain yang terkait dengan data Susenas sepertiDepkes, Diknas dan BKKBN.Penerapan pola entry data dengan dibantu oleh BPS propinsi dan BPSkabupaten/kota dimaksudkan untuk:
1.        Menghasilkan hasil data entry dengan waktu yang lebih cepat,
2.        Memudahkan petugas pengolahan untuk meminta memperbaikiisian ke petugas lapangan apabila dijumpai daftarnya belum terisilengkap, proses update  dan kontrol kualitas pengisian daftar lebihdekat,
3.        Meningkatkan rasa memiliki sehingga kabupaten/kota mempunyaikemampuan untuk mengolah data sendiri, dan4. Memanfaatkan data hasil entry untuk bahan kebutuhan analisa menjadi lebih maksimal.
d.        Keunggulan dan Kelemahan
1.      Keunggulan
*        Susenas satu-satunya survei bidang kesra yang dilaksanakan setiap tahun, mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya penduduk (komprehensif), sangat kaya untuk analisis lintas sektor.
*        Susenas merupakan survei dengan sampel besar sehingga untuk variabel tertentu cukup representatif untuk tingkat kabupaten/kota.
*        Sejak tahun 1993 metodologi (sampel, cakupan materi) Susenas relatif stabil sehingga dapat membandingkan perkembangan antar tahun.
*        Susenas merupakan “lokomotif” penyediaan data bidang kesra karena kontinuitas dan cakupannya relatif luas
2.      Kelemahan
*        Untuk estimasi tingkat kabupaten/kota tingkat kesalahan relatif besar khususnya untuk karakteristik yang frekuensi kejadiannya jarang.
*        Sebagai “lokomotif” beban Susenas terlalu berat, baik bagi pencacah maupun responden, mengakibatkan tingkat kecermatan sedikit berkurang (baik oleh petugas maupun oleh responden).
*        Karena merupakan survei besar (sampel dan cakupan wilayah luas), hasil Susenas paling cepat diperoleh 6 bulan setelah pencacahan

e.         Pemanfaatan Data Susenas
Hasil Susenas sudah biasa dimanfaatkan untuk penghitungan berbagaiindikator/statistik, antara lain:
1.      Indikator Kesejahteraan Rakyat,
2.      Indikator Gender,
3.      Indikator Kelangsungan Hidup, Perkembangan, dan PerlindunganIbu dan Anak,
4.      Indeks Pembangunan Manusia (IPM),
5.      Tingkat Kemiskinan,
6.      Tingkat kecukupan gizi dan status gizi balita,
7.      Distribusi pendapatan/Indeks Gini, dan
8.      Indikator Melenium Development Goal (MDGs)
Indikator-indikator untuk evaluasi MDGs yang disusun dari data ModulKonsumsi Susenas antara lain:Indikator 1-7 yang mempunyai tujuan menanggulangi kemiskinan dankelaparan.
1)        Proporsi penduduk yang hidup di bawah US $1 per hari untuk tingkatnasional dan propinsi,
2)        Kontribusi kuantil pertama penduduk yang berpendapatan terendahterhadap konsumsi nasional dan propinsi,
3)        Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan propinsidan nasional,
4)        Kesenjangan kemiskinan untuk tingkat propinsi dan nasional,
5)        Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum(2100 kkal/kapita/hari) untuk tingkat propinsi dan nasional,
6)        Proporsi penduduk yang mengkonsumsi di bawah 55 gram proteinuntuk tingkat propinsi dan nasional, dan
7)        Proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran untuktingkat propinsi dan nasional.
  
2.3        SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia)
Survey penduduk antar sensus dilaksanakan di pertengahan periode antara dua sensus penduduk. Rumah tangga terpilih di wawancarai guna mendapatkan informasi mengenai kondisi kependudukan misalnya fertilitas, mortalitas dan migrasi. Sama dengan survei penduduk antar sensus, survei ini menghasilkan ukuran demografi, khususnya fertilitas, keluarga berencana dan mortalitas. Rumah tangga terpilih diwawancara untuk tujuan ini. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (1991 dan 1994) mencakup 27 propinsi. Jumlah dari rumah tangga terpilih secara berturut- turut adalah 28 000 dan 35 400.
Dalam dua survei Prevalensi Kontrasepsi Indonesia, informasi tentang kelahiran, kematian, kesehatan dan keluarga berencana adalah yang paling utama diperhatikan. Dengan memperhatikan kelahiran, survei ini mengumpulkan informasi tentang latar belakang responden, sejarah kelahiran, preferensi kelahiran, pemberian ASI, pengetahuan dan praktek dari keluarga berencana, dan pekerjaan responden. Sedangkan dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (1991, 1994), beberapa pertanyaan telah di tambahkan, misalnya perhatian ibu, kesehatan dan imunisasi BALITA, dan pada tahun 1994 survei dilakukan untuk mengumpulkan informasi untuk pengetahuan tentang AIDS dan kematian ibu, pengeluaran rumah tangga, dan ketersediaan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan.

Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)



I.         Pengertian SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi)
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG); adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data pangan dann gizi secara terus menerus untuk menetapkan tindakan.
Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 1998/1999, system kewapadaan pangan dan gizi (SKPG) merupakan kegiatan yang dinamis yaitu secara terus menerus mengumpulkan, menganalisis data, menyebarluaskan informasi, menetapkan langkah-langkah tindakan yang diperlukan, dan tindakan pencegahan ataupun penanggulangan. Atau sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) merupakan system informasi yang dapat digunakan sebagai alat bagi pemerintah daerah untuk mengetahui situasi pangan dan gizi masyarakat.
SKPG dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membantu pemda untuk selalu waspada dalam menghadapi ancaman rawan pangan, kelaparan dan gizi buruk secara dini, sehingga akibat yang lebih buruk dapat dihindari.

II.      Lingkup Kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
1.    Mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data situasi pangan dan gizi guna memantau dan mewaspadai timbulnya ancaman kerawanan pangan dan perubahan situasi gizi masyarakat.
2.    Menyediakan dan menyampaikan informasi hasil pemantauan kepada pemda dan sektor terkait (vertikal dan horizontal) agar dapat dimanfaatkan di dalam penetapan sasaran penanggulangan kelaparan dan gizi buruk secara tepat dan cepat.
3.    Mengkoordinasi rencana, pembiayaan dan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi.

III.  Langkah-langkah Kegiatan SKPG di Tingkat Kabupaten/Kota
Langkah-langkah kegiatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) di tingkat kabupaten/kota, adalah :
a. Pengumpulan, pengolahan dan analisa data
1. Pemetaan kecamatan rawan pangan dan gizi Pemetan kecamatan rawan pangan dan gizi dilakukan setahun sekali berdasarkan berbagai indikator yang ada kaitannya dengan krisis pangan, yaitu :
a) Prevalensi kurang energi protein (KEP) total balita di masing-masing kecamatan
b) Presentase kerusakan/kekeringan dan puso
c) Presentase keluarga pra-sejahtera, sejahtera satu dan keluarga miskin ditiap       kecamatan.
Keluarga rawan adalah keluarga miskin yaitu keluarga pra-sejahtera (Pra-KS), keluarga sejahtera satu (KS-1) atau keluarga miskin menurut pendataan BKKBN dan penilaian aparat desa atas dasar alasan ekonomi. Pendataan sasaran dilakukan di setiap desa. Data yang dikumpulkan, yaitu :
a. Nomor urut
b. Nama kepala keluarga (KK)
c. Tipe keluarga (PS, KS-1, keluarga miskin)
d. Alamay/tempat tinggal
e. Jumlah anggota keluarga
f. Kelompok umur 0-1, 1-5, ibu hamil
Langkah-langkah pendataan sasaran adalah sebagai berikut :
a. Meminjam catatan PLKB tentang daftar KPS dan KS-1.
b. Mencatat nama-nama KK yang termasuk kategori KPS dan KS-1
c. Mewawancarai pamong desa dan mencatat informasi tentang jumlah dan nama-nama keluarga miskin yang tidak tercakup dalam daftar kategori Pra-S dan KS-1.
d. Dari keluarga-keluarga tersebut, catat nama semua ibu hamil dan ibu hamil KEK, ibu nifas dan ibu nifas KEK, bayi (6-11 bulan) dan bayi KEP serta anak (12-23 bulan) dan
anak KEP. Apabila status KEP anak dan KEK ibu hamil/ibu nifas belum diketahui dilakukan pengukuran dan data tersebut perlu dimutakhirkan setiap bulan.
e. Hasil pendataan dicatat di dalam formulir R/I/SKPG/98.
f. Pendataan dilakukan oleh pelaksana SKPG tingkat desa yang terdiri dari kepala desa, tokoh masyarakat, kader, bidan di desa dan PLKB setempat.
g. Data tersebut (b, c, d) dibuat perbaharui setiap 3 bulan. Penentuan kecamatan rawan pangan dan gizi dilakukan dengan memberikan “skor” untuk setiap indikator. Semakin
besar jumlah skor dari semua indikator yang digunakan semakin besar resiko krisis pangan dan gizi suatu kecamatan. Penentuan dilakukan oleh pokja KPG kabupaten/kota dengan mempergunakan Formulir F/ISKPG/98.

2. Pemantauan Produksi dan Ketersediaan Pangan Pokok
a. Pemantauan Produksi Pangan Pokok
Pemantauan produksi pangan pokok bertujuan untuk memperkirakan (meramalkan ) produksi dan ketersediaan pangan pokok di suatu daerah. Di daerah-daerah pertanian pengahasilan pangan pokok indikator-indikator yang digunakan untuk memperkirakan situasi produksi dan ketersediaan pangan adalah : luas tanam (LT), luas kerusakan (LK), dan luas panen (LP) dari tanaman pangan pokok. Untuk dapat memantau indikator-indikator tersebut diperlukan data kalender pertanian tanaman pangan pokok, yaitu : (a) waktu penyiapan lahan pertanian, (b) waktu kegiatan penanaman dilakukan, (c) waktu kegiatan pemeliharaan tanaman dilakukan dan (d) waktu panen dan pasca panen. Data kalender pertanian berguna untuk menentukan : (1) kapan pengumpulan, pengolahan dan analisis data dan intervensi sebaiknya dilakukan, (2) kapan bulan-bulan paceklik di suatu daerah yang perlu pengamatan yang lebih intensif. Pengumpulan data LT, LK dan LP dilakukan oleh PPL bersama mantri statistik sesuai dengan sistem pencatatan dan pelaporan yang ada, sedangkan pengolahan data lebih lanjut dilakukan oleh pokja KPG kabupaten/kota. b. Pemantauan Harga Pangan Pokok Harga pangan pokok dipakai untuk memperkirakan persediaan pangan di masyarakat. Harga pangan pokok yang dipantau meliputi harga beras, jagung, dan ubi kayu. Pemantauan harga pangan dilakukan oleh manteri statistic berdasarkan harga eceran pada tingkat kecamatan. Bagi daerah-daerah bukan penghasilan pangan pokok (seperti; daerah perkebunan, pantai, pertambangan, perkotaan dan lain-lain) alternatif indikator yang dipakai untuk memperkirakan persediaan pangan pokok antara lain : harga pangan pokok, persediaan pangan pokok di gudang sub-dolog setempat, kriminalitas dan indikator-indikator lain yang bersifat lokal dan spesifik.
3. Pemantauan Status Gizi dan Pola Konsumsi Pangan
a. Pemantauan Status Gizi
Pemantauan status gizi di pergunakan 2 indikator, yaitu prevalensi KEP berdasarkan survey khusus (PSG) dan penimbangan bulanan di posyandu (SKDN). Di setiap desa diharapkan setiap anak ditimbang setiap bulan. Indikator yang dipakai adalah N/D, D/S dan BGM. Pemantauan ini dilaporkan setiap bulan.
b. Pengamatan Konsumsi
Pengamatan konsumsi pangan dilakukan terhadap rumah tangga – rumah tangga Pra-S di semua desa di kecamatan-kecamatan yang menghadapi ancaman krisis pangan dan gizi. Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam pengamatan adalah sebagai berikut :
Ø  Pengamatan dilakukan terhadap 20 keluarga Pra-S yang dipilih oleh pelaksana KPG tingkat desa berdasarkan daftar keluarga Pra-S.
Ø  Pengamatan dilakukan pada musim peceklik. Penetapan musim paceklik dilakukan oleh Pokja KPG kabupaten/kota. Pengamatan dilakukan setiap minggu, dengan menggunakan format.
Ø  Pengumpulan data adalah anggota masyarakat yang ditunjuk dan sudah dilatih (misalnya kader, kepala dusun, kepala desa, dll) yang dikoordinir oleh kepala desa.  Apabila ada satu atau lebih keluarga yang mengalami perubahan pola konsumsi pangan, segera dilaporkan ke kecamatan. Perubahan-perubahan tersebut yaitu :
§  Berkurangnya frekuensi makan dari kebiasaan sehari-hari, misalnya dari 3 atau 2 kali menjadi 1 kali.
§  Perubahan jenis makanan pokok dari yang biasa dimakan ke makanan yang tidak lazim dimakan.
§  Berkurangnya jumlah makanan dimasak/dimakan.
Ø  Selanjutnya pokja KPG tingkat kecamatan menganalisis kejadian ini dan melaporkan hasilnya kepada pokja KPG kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam tempo 24 jam.
Disamping itu, pengumpulan data juga mengamati beberapa keluarga Pra-S lainnya untuk memperkirakan apakah masalah yang sama juga terjadi pada keluarga lain. Kabupaten/kota segera meneruskan laporan tersebut ke pusat selambat-lambatnya 24 jam setelah laporan diterima.

IV.   Peran dan Manfaat SKPG
a.      Peran Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah krisis pangan dengan menyediakan jumlah bahan pangan (sembako) yang cukup dan harga yang terjangkau bagi penduduk miskin terus dilakukan. Namun demikian upaya ini masih banyak menghadapi kendala seperti terbatasnya kemampuan pemerintah untuk melakukannya secara terusmenerus karena keterbatasan sumber dana. Dalam situasi krisis ekonomi dengan tingginya harga bahan pangan pokok, upaya penanggulangan krisis pangan harus diprioritaskan pada : 1) daerah-daerah yang sudah menunjukkan adanya tanda-tanda kelaparan (perubahan frekuensi, jumlah konsumsi dan atau perubahan jenis bahan pokok), 2) daerah-daerah dimana sudah ditemukan adanya individu-individu dengan keadaan gizi buruk (kwashiorkor dan marasmus), dan 3) daerah-daerah dimana angka kesakitan dan kematian bayi-anak meningkat. Oleh karenanya, kewaspadaan terhadap situasi pangan dan gizi pada saat krisis ekonomi dan krisis pangan ini perlu diprioritaskan untuk memantau, mencari dan menemukan tanda-tanda kelaparan dan gizi buruk dan akibat buruknya (kematian bayi dan anak). Karena kejadian krisis pangan ini bersifat epidemis maka penemuan kasus-kasus berat tersebut dapat memberikan indikasi adanya masalah pangan dan gizi di daerah bersangkutan. Peran SKPG dalam upaya penanggulangan masalah pangan dan gizi harus diprioritaskan dan diarahkan secara fleksibel sesuai dengan situasinya, berikut :
a.       Dalam keadaan krisis ekonomi dan krisis pangan, peran SKPG harus diprioiritaskan untuk menunjang upaya penanganan masalah bersifat darurat. Oleh karenanya kegiatan SKPG harus diprioritaskan untuk memantau, mencari dan menemukan akibat krisis pangan yang sudah terjadi yaitu kejadian kelaparan, gizi buruk dan atau dengan memonitor akibat lanjut dari gizi buruk seperti kejadian kesakitan dan kematian bayi dan anak. Peran sektor kesehatan dalam menemukan kasus-kasus ini dan penanggulangnnya menjadi sangat penting. Secara operasional penemuan kasus-kasus kelaparan dan gizi buruk ini dapat dilakukan oleh kader-kader posyandu dibantu oleh bidan desa yang dalam tugas sehari-harinya selalu berinteraksi langsung dengan keluarga-keluarga. Kegiatan fungsi SKPG lainnya yaitu pemetaan dan pemantauan situasi pangan secara berkala menjadi kegiatan penunjang.
b.      Dalam keadaan biasa dimana tidak terjadi krisis ekonomi maupunpangan, peran SKPG diprioritaskan untuk menunjang upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya krisis pangan dan untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk perencanaan dan perumusan kebijakan serta evaluasi program. Oleh karena itu kegiatan SKPG pada keadaan ini diarahkan untuk pemetaan wilayah dan pemantauan (peramalan situasi) dengan menggunakan indikator-indikator yang telah ditetapkan, serta menindak lanjut hasil pemantauan. Kegiatan pemantauan kasus kelaparan, gizi buruk dan kesakitan/kematian bayi dan anak dalam situasi ini menjadi kegiatan penunjang.
b.      Manfaat
1.      Bagi Kepala Daerah:
Sebagai dasar menetapkan kebijakan penanggulangan masalah pangan dan gizi dalam:
a.       Menentukan daerah prioritas.
b.      Merumuskan tindakan pencegahan terhadap ancaman krisis pangan dan gizi.
c.       Mengalokasikan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien.
d.      Mengkoordinasikan program lintas sektor.
2.      Bagi pengelola program: 
a.        Penetapan lokasi dan sasaran.
b.      Menyusun kegiatan terpadu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sektor.
c.       Proses pemantauan pelaksanaan.
d.      Pelaksanakan kerjasama lintas sektor.
e.       Mengevaluasi pelaksanaan program.
3.      Bagi masyarakat
a.       Kemungkinan kejadian krisis pangan di masyarakat dapat dicegah.
b.      Ketahanan pangan ditingkat rumah tangga meningkat.
c.       Melindungi golongan rawan dari keadaan yang dapat memperburuk status gizi.
C. Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan SKPG
1.      SKPG adalah salah satu sistem surveilens yang menjadi kewenangan pemerintah dan daerah dalam bidang kesehatan dan pertanian (UU No 22 tahun 1999 dan PP No 25 tahun 2000).
2.      SKPG merupakan kegiatan yang wajib tetap dilaksanakan oleh propinsi dan kabupaten/kota sebagai wilayah administrasi kesehatan (SE Mentri Kesehatan 27 Juli 2000 No.1107/Menkes/E/VII/2000).
3.      Daerah berwenang menyesuaikan SKPG sesuai keadaan setempat.

V.      Komponen Sistem SKPG
1.    Input
a.    Personil
b.    Dana
c.    Juklak dan Juknis
d.   Sarana dan Prasarana
2.    Proses
a.    Mengumpulkan Data
b.    Menganalisis Data
c.    Menyajikan Informasi
d.   Monitoring dan evaluasi
e.    Koordinasi
3.    Output
a.    Informasi yang diperoleh
b.    Tindakan yang diambil

VI.        Yang Berperan Dalam SKPG:
·         melalui surat keputusan bupati/walikotamadya, berdasarkan inmendagri Nomor 23 tahun 1998 tentang pembentukan Tim Pangan dan Gizi di daerah Pokja KPG terdiri dari unsur-unsur kesehatan, pertanian, Bappeda, BKKBN, Sosial, Dolog, Statistik dan lain-lain yang dianggap perlu pengorganisasian (struktur organisasi, tugas dan mekanisme kerja) pokja KPG disesuaikan dengan situasi setempat, mengacu pada petunjuk teknis SKPG di kabupaten/kota.
·           Dinas Kesehatan
·           Dinas Pertanian Dan Perkebunan
·           Dinas Tanaman Pangan Dan Holtikulura
·           Badan Pemeriksaan Obat Dan Makanan(POM)
·           Dinas Perindustrian Dan Perdagangan
·           Dinas Sosial