Rabu, 25 Maret 2015

SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENURUNAN AKI DAN AKB DI DUNIA DAN INDONESIA



SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENURUNAN AKI DAN AKB DI DUNIA DAN INDONESIA
                  Nomensen Banunaek,S,KM


Kesehatan Ibu dan Anak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kcmampuan hidup sehat bagi semua orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Indikator derajat kesehatan dapat dinilai dari angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu (AKI), umur harapan hidup dan angka kematian balita (Depkes Rl, 1991). OIeh karena itu, persalinan ibu hams mendapatkan fasilitas dan partisifasi seperti tenaga profesional, pelayanan kesehatan, partisipasi masyarakat setempat dan lainnya.
Kematian ibu atau kematian maternal saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan reproduksi yang sangat penting. Tingginya angka kematian maternal mempunyai dampak yang besar terhadap keluarga dan masyarakat (L. Ratna Budiarso et al, 1996). Kematian seorang wanita saat melahirkan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup bayinya, karena bayi yang bersangkutan akan mengalami nasib yang sama dan keluarganya bercerai berai (L. Ratna Budiarso et al, 1990). Oleh karena itu angka kematian maternal dapat digunakan sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, khususnya indikator kesehatan ibu.
Angka kematian maternal di Indonesia dewasa ini masih tinggi. Menurut data SKRT tahun 2001, 90 % penyebab kematian ibu karena adanya komplikasi dan 28 % diantaranya terjadi pendarahan dimasa kehamilan dan persalinan.(Resty K. 2000)
Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara maju, maka angka kematian ibu/maternal di Indonesia adalah sekitar 3-6 kali AKI negara ASEAN dan lebih dari 50 kali AKI negara maju (Anonimus, 1996/1997).
Pola penyakit penyebab kematian ibu 84% karena komplikasi obstetrik langsung dan didominasi oleh trias klasik, yaitu perdarahan (46,7 %), toxemia (14,5%) dan infeksi (8%). Kasus perdarahan yang paling banyak adalah perdarahan postpartum akibat uri tunggal, sedangkan infeksi umunya merupakan komplikasi akibat ketuban pecah dini, robekan jalan lahir, persalinan macet serta perdarahan (Sarimawar Djaja et al, 1997). Faktor yang turut melatar belakangi kematian maternal adalah usia ibu pada waktu hamil tcrlalu muda ( <> 35 tahun), jumlah anak terlalu banyak (> 4 orang) dan jarak antar kehamilan kurang dari 2 tahun (Depkes RI, 1994).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kematian ibu pada saat hamil, bersalin dan nifas serta factor-faktor yang menyebabkan kematian bayi pada bulan pertama hingga tahun pertama dilahirkan.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi kematian ibu dan bayi.
2. Mengetahui penyebab kematian ibu dan bayi.
3. Mengetahui tingkat kematian ibu dan bayi.
4. Mengetahui strategi untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama yang berkaitan dengan kematian ibu dan bayi.
2. Memahami permasalahan yang berkaitan dengan kematian ibu dan bayi serta upaya-upaya untuk menurunkannya.
3. Memahami keberadaan fasilitas dan tenaga kesehatan dapat menurunkan kematian ibu dan bayi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kematian Ibu
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dalam ICD X mendefinisikan kematian ibu sebagai kematian wanita saat hamil sampai 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung pada umur kehamilan dan letak kehamilan di dalam atau di luar kandungan disebabkan oleh kehamilannya atau kondisi tubuh yang memburuk akibat kehamilan atau disebabkan oleh kesalahan dalam persalinan, tetapi tidak termasuk kematian yang disebabkan oleh kecelakaan dan kelalaian (Sarimawar Djaja et al, 1997).
2.2 Definisi Kematian Bayi
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.
Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar.
2.3 Sejarah Kematian Ibu
Penurunan angka kematian ibu berkaitan dengan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang professional. Seperti halnya negara maju yang memiliki tenaga maju yang memiliki tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan yang terorganisasi dengan baik dan terjangkau oleh masyarakat. Masalah yang dihadapi Negara berkembang adalah keraguan tentang keakuratan data tentang kematian ibu yang dikumpulkan.
• Indonesia
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 dan tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa terdapat penurunan AKI dari 390 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup. Data ini diperoleh dari “Sisterhood Method” suatu metode yang sangat tergantung dari kemampuan responden untuk melaporkan kematian saudara perempuannya maupun dalam menentukan kematian ibu dengan cepat. Penyebab kematian ibu langsung di Inonesia adalah perdarahan, infeksi, eklamsi, partuslama, dan komplikasi abortus. Penyebab kematian langsung tersebut merupakan penyebab kematian ibu terbanyak. Penyakit kematian ibu tidak langsung adalah anemia.(Depkes RI FKM UI 2005).
2.4 Sejarah Kematian Bayi
Di dunia diperkirakan setiap tahun hampir 3,3 juta bayi lahir mati dan lebih dari 4 juta lainnya mati dalam 28 hari pertama kehidupannya. Jumlah terbesar kematian bayi terjadi di wilayah Asia Tenggara (1,4 juta kematian bayi dan 1,3 juta lahir mati). Walupun jumlah keamtian tertinggi terjadi di Asia tapi angka kematian bayi dan angka lahir mati paling besar terjadi di sub-sahara Afrika.
Penyebab utama kematian bayi erat kaitannya dengan kesehatan ibu dan pemeriksaan ibu yang diperoleh sebelum, selama, dan segera setelah melahirkan. WHO memperkirakan dari tahun 1995 hingga 2000 sebagian besar Negara di Amerika, Asia Tenggara, Eropa dan wilayah Barat Pasifik dapat menurunkan angka kematian bayi. Daerah Mediterania Timur kurang dapat menurunkan angka kematian bayi dan sedangkan Afrika justru mengalami angka kematian bayi.
Pengalaman dari Negara-negara maju memperlihatkan bahwa penurunan kematian bayi terutama kematian bayi baru lahir tidak terjadi penurunan secara substansial dalam beberapa tahun apabila penurunan kematian pada bayi yang lebih besar (post-neonatal) dan anak (childhood) telah tercapai. Pada banyak Negara, kematian bayi baru lahir mengalami penurunan lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang lebih tua atau anak.
Sebenarnya penurunan kematian bayi tidak hanya tergantung dari tingginya alokasi dana untuk tekhnologi canggih sebagai contoh Kolombia dan Sri Langka dengan kematian bayi tidak lebih dari 15 kematian bayi per 100.000 kelahiran hidup. Nikaragua dan Vietnam yang mempunyai angka kematian bayi 17 dan 15 per 1000 kelahiran hidup mengalokasikan dana sekitar US$45 dan US$20 per kapita 1999. Sedangkan negara-negara di Eropa Utara dengan upaya mengurangi resiko kematian akibat persalinan dan pasca persalinan dapat menurunkan angka kematian bayi.
2.5 Penyebab Kematian Ibu
Secara garis besar penyebab kematian ibu dapat dikategorikan dalam penyebab langsung dan tidak langsung (WHO, 1998):
1. Penyebab langsung (Direct obstetric deaths), yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh komplikasi obstetric pada masa hamil, bersalin dan nifas, atau kematian yang disebakan oleh suatu tindakan, atau berbagai hal yang terjadi akibat-akibat tindakan tersebut yang dilakukan selama hamil,bersalin atau nifas, seperti perdarahan, toxemia dan infeksi.
2. Penyebab tak langsung (Indirect Qbstetric deaths), yaitu kemajian ibu yang disebabkan oleh penyakit yang bukan komplikasi obstetri,yang berkembang atau bertambah berat akibat kehamiian, persalinan dan nifas.
Sarimawar Djaja dkk (1997) melaporkan bahwa 84% kematian ibu disebabkan oleh komplikasi obstetrik langsung dan di dominasi oleh tiga sebab utama (trias klasik), yaitu perdarahan (46,7%), toxemia (14,5 %) dan infeksi (8%).
Kematian ibu akibat perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan antepartum, perdarahan post partum, kehamiian ektopik, perdarahan akibat robekan rahim dan abortus (Erika Royston dan Sue Amstrong, 1994).
Kematian ibu akibat toxemia (keracunan kehamilan) dapat terjadi karena pre-eklampsi dan eklampsi.
Kematian ibu akibat infeksi dapat terjadi karena tractus genitourinarius (infeksi saluran genital), baik setelah persalinan atau pada saat masa nifas. Infeksi ini dapat terjadi oleh berbagai cara, antara lain melalui penolong persalinan yang tangannya tidak bersih dan menggunakan instrumen yang kotor, memasukkan benda asing ke vagina selama persalinan seperti jamu/ramuan.
Selain trias klasik penyebab lain dari kematian ibu adalah ketuban pecah dini, uri tunggal tanpa perdarahan, robekan jalan lahir, persalinan macet (biasanya karena tulang panggul ibu terlalu sempit) dan ruptura uteri serta psikosis masa nifas (Sarimawar Djaja, 1997).
Penyebab tak langsung kematian ibu meliputi penyakit-penyakit sistim sirkulasi saperti emboli (segala sesuatu yang menyebabkan tersumbatnya penibuluh darah), penyakit saluran pernafasan, infeksi dan parasit, terutama akibat penyakit menular seksual, dan anemia. (Erika Roystone &, Sue Amstrong , 1994; Sarimawar Djaja et al, 1997).
Departemen Kesehatan RI (1994) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dalam 3 faktor, yaitu :
• Faktor medik
Beberapa faktor medik yang melatarbelakangi kematian ibu adalah faktor resiko tinggi (high risk group), yaitu primigravida (umur <> 35 tahun), jumlah anak > 4 orang dan jarak persaiinan terakhir < 2 tahun, tinggi badan < 145 cm, berat badan < 38 kg atau lingkar lengan atas (lila) < 23,5 cm, riwayat penyakit Keluarga dan kelainan bentuk tubuh, riwayat obstetric buruk dan penyakit kronis. Seiain itu komplikasi kehamiian, persaiinan dan masa nifas adalah penyebab langsung kematian maternal, yaitu perdarahan pervaginum, infeksi, keracunan kehamiian, komplikasi akibat partus lama dan trauma persalinan.
Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk keadaan ibu pada saat hamil yang berperan dalam kematian ibu adalah kekurangan gizi dan anemia (Hb' < 8 gr%)serta bekerja fisik berat selama kehamiian, yang memberikan dampak kehamilan yang kurang baik berupa bayi berat lahir rendah dan prematuritas.
• Faktor non medik
Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan kesakitan dan kematian maternal adalah kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal, terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamiian resiko tinggi, ketidakberdayaan sebagian besar ibu-ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk dan membiayai biaya transportasi dan, perawatan di rumah sakit.
• Faktor pelayanan kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang memicu tetap tingginya angka kematian maternal adalah belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok resiko, masih rendahnya cakupan pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah oleh dukun yang tidak mengetahui tanda-tanda bahaya.
2.6 Penyebab Kematian Bayi
Bayi yang berumur di bawah 1 tahun meliputi 2,5 persen dari seluruh penduduk, tetapi kematian bayi mencapai 27 persen dari kematian semua golongan umur. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahuu 1986 di 7 provinsi menunjukkan bahwa 4 penyebab kematian utama pada bayi-tetanus, gangguan perinatal, diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)~meliputi lebih dari duapertiga seluruh kematian bayi yang diperkirakan 379.800 pada tahun 1985 (Tabel 2.5). Dari jumlah kematian tersebut, 28 persen disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti tetanus, campak, difteria dan batuk rejan. Suatu sebab utama lainnya (hampir 1 di antara setiap 5 kematian bayi) adalah trauma persalinan dan gangguan perinatal lainnya; dan, di samping itu sebanyak 4 persen akibat kelainan bawaan. Gangguan perinatal dan kelainan bawaan ini umumnya dapat I dipengaruhi oleh keadaan kesehatan dan gizi yang kurang pada masa kehamilannya, selain kurangnya jangkauan pelayanan kesehatan dan pertolongan persalinan. Tetanus I merupakan sebab dari 19 persen kematian bayi, dan terutama sebagai sebab dari kematian bayi di bawah umur 1 bulan yang merupakan 40 persen kematian bayi neonatus. Kematian sebab tetanus neonatorum erat hubungannya dengan tindakan yang I dilakukan pada waktu pertolongan persalinan serta perawatan pasca persalinan termasuk cara merawat tali pusat.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) seperti yang dilakukan pada tahun 1986 itu sudah pemah dilakukan sebelumnya pada tahun 1980. Sekalipun antara kedua survei tersebut ada perbedaan dalam jumlah sampel dan metoda klasifikasi penyebab kematian, akan tetapi bilamana data tersebut dianalisa secara hati-hati, maka data dari kedua survei tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Keempat penyebab kematian utama pada tahun 1980 masih merupakan penyebab kematian utama pada tahun 1986. Akan tetapi peran keempat penyebab utama tersebut sudah berkurang dari tigaperempat menjadi duapertiga dari seluruh kematian bayi. Walaupun angka kematian bayi dari basil kedua survei tersebut menunjukkan penurunan, yaitu dari 100 menjadi 71,8 per 1000 KH, tetapi proporsi dari 7 penyebab utama adalah tetap meliputi 83,0 persen, baik pada tahun 1980 maupun 1986.
Kedua: Tetanus merupakan penyakit pembunuh utama dalam tahun 1980 dan dalam tahun 1986 masih tetap merupakan demikian. Meskipun angka kematian disebabkan tetanus sudah menurun, yaitu dari 1978,5 per 100.000 KH menjadi 1383,5 per 100,000 KH, tetapi kematian disebabkan tetanus masih meliputi kurang lebih 70.000 kematian bayi dalam tahun 1985, yaitu lebih dari 1 untuk setiap 5 kematian bayi. Proporsi ini tidak berubah dibandingkan dengan keadaan tahun 1980.
2.7 Tingkat Kematian Maternal Ibu
Tingkat kematian matemal dinyatakan dengan beberapa ukuran, yaitu MMRatio, MMRate, Life Time Risk (resiko kematian selama hidup) dan proporsi kematian karena sebab maternal pada keiompok umur reproduksi (S. Soemantri,1997).
Berdasarkan kesepakatan internasional,maka ukuran tingkat kematian maternal yang digunakan adalah MMRatio, yaitu kematian maternal untuk periode tertentu (biasanya 1 tahun) per 1000 kelahiran hidup pada periode yang sama.
Kemajuan ilmu kedokteran telah memberi hasil yang menggembirakan bagi menurunnya angka kematian ibu. Di Inggris, angka kematian maternal menurun dari 442 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1928 menjadi 25 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 (Hanifa S, 1992), sedangkan Malaysia mengalami penurunan angka kematian maternal yang cukup pesat dari 150 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1970 menjadi 30 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Hal ini disebabkan antara lain oleh pertumbuhan sosial ekonorni dan dukungan kebijakan pemerintah yang menyebabkan fasilitas kesehatan berfungsi secara baik.
Sementara di Indonesia belum di dapati data angka kematian ibu yang tepat sebab belum ada system pendaftaran kematian dan kematian yang berlaku sccara ketat. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992 memperkirakan MMRatio sebesar 455 per 100.000'kelahiran hidup, sedangkan SKRT tahun 1995 membuat perkiraan yang lebih rendah , yaitu 384 per 100.000 kelahiran hidup, namun untuk luar Jawa-Bali angkanya adalah 469 per 100.000 kelahiran hidup (S.Soemantri, 1997).
Jumlah angka kematian ibu di Indonesia sangat bervariasi, yang tertinggi di NTB 134 per 100.000 kelahiran hidup, Aceh (1996) 421 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Timur 98,9 per 100.000 kelahiran hidup, Jawa Barat 490 per 100.000 kelahiran hidup, DJY 130 per kelahiran hidup (Poehjati Poedji, dkk 2003)
Angka Kematian ibu (AKI) di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI dari hasil Survei Keserhatam Rumah Tangga (SKRT) 1985 adalah 450 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1992 menurun menjadi 404 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 AKI di Indonesia adalah sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih jauh lebih tinggi dibandingkankan dengan negara-negara tetangga ASEAN, yaitu pada tahun 1994 AKI di Vietnam 1231,FiIipina 100,Brunai 60, Malaysia 59, Thailand 50, dan Singapura hanya 10 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut SKRT tahun 2001 AKI di Indonesia adalah sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangakan menurut Survei Dernografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 AKI turun menjadi 307 per l00.000 kelahiran hidup.
2.8 Angka Kematian Bayi
Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia berasal dari berbagai sumber, yaitu Sensus Penduduk, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dan Surkesnas/Susenas. Dalam beberapa tahun terakhir AKB telah banyak mengalami penurunan yang cukup menggembirakan meskipun pada tahun 2001 meningkat kembali sebagai dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1971 AKB diperkirakan sebesar 152 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 117 pada tahun 1980, dan turun lagi menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Sedangkan AKB menurut hasil Surkesnas/Susenas berturut-turut pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup.
Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir tersebut memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Penurunan AKB tersebut antara lain disebabkan oleh peningkatan cakupan imunisasi bayi, peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, penempatan bidan di desa, dan meningkatnya proporsi ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi.
Bila dilihat menurut jenis kelamin, angka kematian bayi pada laki-laki selalu lebih tinggi dibandingkan dengan bayi perempuan, sebagaimana terlihat pada gambar berikut.
Dari hasil penelitian terhadap semua kasus kematian yang disurvei pada SKRT 1992, 1995 serta Surkesnas tahun 2001 diperoleh gambaran proporsi sebab utama kematian bayi sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
SKRT 1992 SKRT 1995 SURKESNAS 2001
Jenis penyakit Jenis penyakit Jenis penyakit
1. ISPA
2. Diare
3. Tetanus Neonatorm
4. Penyakit Sist Syaraf
5. Gangguan Perinatal
6. Difteria, Pertusis, dan Campak 36,0
7. Penyakit Sistem Pernafasan
8.Gangguan Perinatal
9. Diare
10. Penyakit Sist Syaraf
11. Tetanus
12. Infeksi dan Parasit

13. Gangguan Perinatal
14. Sistem Pernafasan
15. Diare
16. Sistem pencernaan
17. Gejala tidak jelas
18. Tetanus
19. Saraf
Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian bayi dari tahun 1992 dan 1995 tidak terlalu banyak mengalami perubahan dan masih didominasi oleh penyakit infeksi. Sedangkan pada tahun 2001 gangguan perinatal menduduki peringkat pertama, yang diperkirakan karena kualitas pemeriksaan ibu hamil dan pertolongan persalinan masih perlu ditingkatkan walaupun cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sudah meningkat
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Strategi Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu
Terjadinya kematian maternal di negara-negara berkembang biasanya di dahului oleh berbagai masalah, misalnya kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, status wanita yang rendah, sanitasi dan gizi yang buruk, tranportasi dan pelayanan kesehatan yang terbatas. Bila masalah tersebut teratasi, maka angka kematian ibu dapat diatasi.namun bila masalah tersebut belum dapat diatasi, maka Mainne et al (1993) dalam WHO (I998)menyatakan bahwa kematian ibu dapat juga dicegah dengan pendekatan sebagai berikut :
1. Mencegah/memperkecil kemungkinan wanita untuk hamil.
Selama seorang wanita tidak berada dalam kehamilan, ia tidak mempunyai resiko untuk mati. Dengan demikian menurunkan angka kesuburan wanita merupakan cara yang efektif untuk mcncegah kemungkinan menjadi hamil sehingga menghilangkan resiko kematian akibat kehamilan dan persalinan.
Keikutsertaan ber-KB berhubungan dengan resiko kematian seumur hidup (life time risk)seorang wanita, yang merupakan fungsi dari aspek kemungkinan selamat dalam menjalani kehamilan dan jumlah kehamilan rata-rata yang dialami wanita. Keikutsertaan ber-KB mencegah kematian ibu melalui aspek yang kedua.
2. Mencegah/memperkecil kemungkinan wanita hamil mengalami komplikasi dalam kehamilan/persalinan.
Analisis menunjukkan bahwa kebanyakan kejadian komplikasi obstetri tidak dapat dicegah atau diperkirakan sebelumnya. Disamping itu telah diketahui bahwa wanita dalam kelompok umur <> 35 tahun mempunyai resiko lebih besar terhadap kematian ibu. Namun asuhan antenatal yang berkualitas dan pertolongan persalinan yang aman akan berperan penting dalam menghasilkan ibu dan bayi yang sehat pada akhir kehamilan,disamping pcrlunya persiapan terhadap keadaan darurat obstetri yang tidak terduga bagi setiap ibu hamil.
3. Mencegah/memperkecil kematian wanita yang mengalami komplikasi kehamilan/persalinan.
Walaupun kebanyakan komplikasi obstetri tidak dapat dicegah dan dan diperkirakan sebelumnya, tidak berarti bahwa komplikasi itu tidak dapat ditangani. Mengingat bahwa setiap ibu beresiko untuk mengalami komplikasi obstetri, maka mereka perlu mempunyai akses terhadap pefayanan kegawatdaruratan obstetric sehingga semua kematian ibu dapat dicegah.
Fasilitas, Tenaga dan Cakupan Program
Kematian ibu sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu kedokteran, fasilitas yang ada dalam pelayanan kebidanan, mutu tenaga yang memberi pelayanan dan factor sosial ckonomi. (H. Hutabarat, 1980).
Kesehatan ibu dan anak (KIA) mempunyai tujuan akhir bagi angka kematian bayi, anak balita dan kematian ibu/maternal. Untuk keberhasilan program tersebut harus di dukung oleh keberadaan fasilitas dan tenaga yang memadai dan profesional untuk mendapatkan cakupan program yang setinggi-tingginya.
Strategi yang dilakukan pemerintah adalah 7 T yaitu:
• terlalu muda,
• terlalu tua,
• terlalu sering,
• terlalu banyak, terlambat mengambil keputusan,
• terlambat untuk dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan
• terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Ada pendekatan yang dikembangkan untuk meniirunkan angka kematian ibu yang disebut MPS atau Making gnancy Safer. 3 (tiga) pesan kunci dalam MPS yang perlu diperhatikan adalah:
1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
2. Setiap komplikasi obstetric dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat (memadai).
3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
3.2 Strategi Untuk Menurunkan Angka Kematian Bayi
1. Pemberian Asi
Bayi-bayi yang diberi air susu ibu jarang sakit dan cukupmendapat makanan lengkap dibandingkan dengan bayi yangdiberi makanan lain .Karena itu ,pemberian susu botol ,terutama di lingkungan Keluarga ,masyarakat miskin,merupakan ancaman bagi jiwa dan kesehatan jutaan anak .Air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan minuman terbaik bagi bayi dalam uisa empat sampai enam bulan pertama kehidupannya .Bayi harus mulai mendapat air susu ibu secepatnya setelah lahir .Dimana sebenarnya setiap ibu mampu menyusui anaknya .Untuk menghasilkan susu yang cukup bagi kebutuhan bayi ,diperlukan penghisapan seserimg mungkin. Pemberian susu botol dapat menyebabkan sakit parah dan kematiaan.Pemberian air susu ibu harus dilanjutakan sampai anak berusia dua tahun,dan bila mungkin lebih lama.
2. Upaya dehidrasi oral (ORAL)
Diare menyebabkan dehidrasi(kehilangan air dari tubuh atau jaringan),yang mengakibatkan kematian sekitar 3,5 juta anak setiap tahun .Diare juga merupakan penyebab utama kekurangan gizi pada anak-anak .Namun demikian upaya dehidrasi oral (URO)dapat digunakan untuk mencegah atau merwat dehidrasi yang disebabkan diare yang merupakan sebab umum dari kematian anak balita . Dalam tahun 1990an promosi oralit atau larutan garam dan gula yang merupakan atau jenis lain dari larutan dehidrasi yang dibuat di rumah. Telah memberikan terapi ini kepada kira-kira 20 % dari oranmg tua di dunia dan kini menyelamatkan kira-kira 600.000 jiwa setiap tahun.
3. Imunisasi
Sejauh ini, tempat uji coba utama persekutuan besar bagi anak-anak adalah usaha untuk menyediakan imunisasi. Imunisasi di dunia berkembang tidak semudah atau seotomatis untuk sebagian besar orang tua sebagaimana di dunia industri. Dan kalau kita ingin agar mereka mau membawa anak yang tidak sakit ke klinik tiga atau empat kali dalam tahun pertama dari masa hidup anak-anak tersebut, jadwal imunisasi yang dianjurkan oleh WHO adalah sebagai berikut :
• Habis lahir- BCG untuk Tuberclosa dan vaksin polio pertama (OPV1)
• 6 minggu – suntikan pertama terhadap dipteri, batuk rejan dan tetanus atau DPT 1 dan OPV2
• 10 minggu – DPT2 dan OPV3
• 14 minggu – DPT2 dan OPV4
• 9 bulan – Campak
Di beberapa Negara vaksinasi DPT dan polio diberikan hanya 2 dosis saja dan vaksinasi campak diberikan setelah 12 bulan. Maka semua orang harus diberi tahu dari semua sumber yang ada bahwa pemberian vaksinasi lengkap sangat diperlukan untuk melindungi jiwa dan pertumbuhan normal anak-anak mereka diantara penyakit-penyakit masa kanak-kanak yang paling berbahaya.
Dalam lima tahun belakangan ini, imunisasi telah menghimpun momentum baru. Adalah sangat penting saat ini untuk mempertahankan momentum itu. Dan dalam tahun 1980 an hany ada tiga infeksi yang dapat dicegah oleh vaksin – campak, batuk rejan, dan tetanus – yang telah membunuh kurang lebih dari 25 juta jiwa nak-anak kecil – lebih dari seluruh penduduk dibawah umur 5 tahun di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kita mempunyai sarana yang murah untuk menghentikan pembunuhan yang keji itu dan menghentikannya dalam beberapa tahun ini. Kalau tidak memanfaatkan sarana itu, maka pengakuan kita tentang peradaban dunia dan harapan kita bagi kemajuan manusia tidak akan bertahan terhadap pengujian lebih lanjut.
Melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dunia telah menentukan sasaran untuk mengimunisasikan sebagian besar anak-anak terhadap enam jenis penyakit utama pada tahun 1990 an. Tidak ada satupun yang pernah mencapai cakupan imunisasi 100 persen. Negara-negara berkembang telah menentukan target dengan 80%, yang dianggap sebagai tingkat minimum yang dapat diterima ( cakupan di Negara-negara industri hanya lebih 70% untuk DPT, dan dibawah 80% untuk Campak dan Folio). Apabila cakupan imunisasi mencapai 80% atau lebih, pola penyebaran penyakit akan terpengaruhi, dan suatu tingkat perlindungan akan terjadi pada anak-anak yang belum diimunisasi (asal tersebar merata dan tidak terpusat di daerah-daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah). Tetanus, yang diakibatkan oleh kelahiran tidaj higienis, telah membunuh sekitar 800.000 anak yang baru lahir setiap tahun. Dua vaksinasi dengan Tetanus Toxoid diwaktu hamil atau satu dosis tambahan untuk seorang ibu yang sudah divaksinasi akan melindungi anak yang baru lahir sampai anak tersebut divaksinasi. Separuh dari bayi dunia berkembang kini sedang diimunisasi dengan vaksin BCG, difteria, batuk rejan, Tetanus dan polio sebelum usia 12 bulan, 39% sedang diimunisai terhadap campak, 28% wanita hamil di Negara-negara berkembang diimunisasi terhadap tetanus. Dan dengan segala keuletan dan ketekadan yang diperlukan, sasarn tersebut harus dicapai. Dan apabila ada insentif lain yang dibutuhkan, perlu kiranya disebutkan bahwa penciptaan system universal untuk imunisasi mutlak perlu bagi penyampaian vaksin-vaksin baru misanya, terhadap malaria dan AIDS-yang mungkin sekali dikembangkan dalam 10 tahun mendatang.
Dengan demikian imunisasi tantangan komunikasi yang permanent. Dan masih banyak yang harus dilakukan.
Di Indonesia, sukses dalam mobilisasi ratusan anggota ribu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai kader gizi yang aktif telah menghasilkan berdirinya sampai 133.000 Posyandu atau pos pelayanan terpadu, yang sekarang mendukug lebih dari separuh orang tua Negara itu dalam menyediakan satu paket terpadu cara-cara yang murah untuk melidungi kesehatan dan pertumbuhan normal anak-anak. Melalui imunisasi, rehidrasi oral, Keluarga berencana, promosi pemberian air susu ibu, perawatan pra-natal, dan pemantauan pertumbuhan setiap bulan. Posyandu mungkin akan berhasil memberi kuasa kepada orang tua untuk mengurangi angka kematian anak tahun 1980 dengan 50% atau lebih pada akhir dasawarsa ini.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang tertinggi memberikan dampak yang besar terhadap keluarga dan masyarakat. Kematian ibu dan anak masih merupakan masalah kesehatan reproduksi di dunia terutama di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dunia dan Indonesia masih terus memikirkan upaya-upaya untuk menurunkan tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Adapun upaya yang telah dilakukan diantaranya :
- Pemberian ASI Eksklusif
- Mencegah terjadinya komplikasi persalinan pada ibu hamil
- Imunisasi
- Memeriksakan kandungan minimal empat kali selama masa kehamilan
- Memberikan zat besi yang cukup untuk ibu hamil
4.2 Saran
1. Kesehatan ibu dan anak dapat lebih ditingkatkan dengan cara menjarangkan kelahiran paling sedikit antaradua tahun, dengan mencegah kehamilan sebelum usia 18 tahun, dan dengan mem-batasi kehamilan hingga empat kali.
2. Untuk mengurangi bahaya-bahaya pada saat melahirkan, semua wanita yang hamil harus memeriksakan diri kepada petugas kesehatan, agar mendapatkan perawatan sebelum melahirkan, dan setiap kelahiran bayi harus dibantu oleh bidan yang terlatih.
3. Selama beberapa bulan pertama kehidupan bayi, air susu ibu adalah satu-satunya makanan dan minuman yang paling baik Setelah berusia empat hingga enam bulan, bayi memerlukan makanan lain di samping air susu ibu.
4. Anak-anak di bawah usia tiga tahun memerlukan makanan khusus. Mereka perlu makan lima atau enam kali sehari datf makanannya harus diperkaya dengan sayuran yang dihaluskan dan sedikit lemak atau minyak.
5. Penyakit diare dapat menyebabkan kematian karena anak kehilangan terlalu banyak cairan di tubuhnya. Karena itu cairan yang hilang ketika anak berak cair atau mencret, hari diganti dengan cara memberinya minum cairan yang tepat misalnya air susu ibu, bubur cair, sup, atau larutan ORALIT.
Bila penyakimya lebih parah dari biasa, anak memerlukan pertolongan dari petugas kesehatan dan minum larutan ORALIT. Agar cepat sembuh, anak yang menderita diare perlu diberi makan.
6. Imunisasi akan melindungi anak-anak terhadap beberapa penyakit yang menghambat pertumbuhan, menyebabkan kelemahan, dan kematian. Semua imunisasi hams diberikan pada tahun pertama. Setiap wanita bemsia subur hams diimunisasi terhadap tetanus.
7. Biasanya batuk dan pilek akan sembuh dengan sendirinya. Tetapi, bila anak yang batuk bernafas lebih cepat dari biasa, anak tersebut sakit parah dan perlu cepat dibawa ke Puskesmas. Anak yang batuk dan pilek haras diberi makan dan perlu banyak minum.
8. Banyak penyakit disebabkan oleh kuman penyakit yang masuk mulut. Hal ini dapat dicegah dengan cara buang air besar di kakus, mencuci tangan dengan air dan sabun setelah buang air dan sebelum menangani makanan, serta mendidihkan air untuk diminum.
9. Penyakit dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Setelah sembuh dari sakit, setiap hari selama satu minggu, anak memerlukan makanan tambahan untuk mengejar pertumbuhan yang terhenti sebagai akibat dari sakit.
10. Anak-anak yang berusia tiga bulan hingga enam tahun, harus ditimbang setiap bulan. Jika dalam waktu dua bulan, berat badannya tidak bertambah, pasti ada masalah.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Pemerintah Republik Indonesia-UNICEF.1989. Analisa Situasi Anak dan Wanita di Indonesia. Jakarta: Pemerintah RI-UNICEF.
2. Grant,P.James.1989.Situasi Anak-anak di Dunia 1988. Jakarta: Kantor Perwakilan UNICEF untuk Indonesia.
3. Benson dkk.1994.10 Petunjuk Bagi Kesehatan Ibu dan Anak. Medan: Pustaka

Senin, 09 Maret 2015

PERILAKU HOMOSEKSUAL DI KOTA KUPANG



                     FENOMENA PERILAKU HOMOSEKSUAL DI KOTA KUPANG
                                                                        ABSTRAK
                                                             Oleh: Nomensen Banunaek
                                                           
Penelitian Fenomena Homoseksual di Kota Kupang ini dilator belakangi oleh semakin terlihatnya eksistensi para homoseksual serta melihat pandangan masyarakat yang mana sebagian masyarakat tersebut memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap keberadaan dan eksistensi homoseksual tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi alasan untuk
memilih jalan hidupnya sebagai homoseksual dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian dengan sumber data primer 35 homoseksual dan 35 masyarakat umum. Sumber data sekunder berasal dari dokumentasi dan kepustakaan melalui buku, media cetak dan internet. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan teknik keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber, sedangkan untuk menganalisis data yang telah terkumpul yaitu dengan teknik analisis data dengan pedoman analisis interaktif Miles dan Huberman dengan 4 tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Penelitian terhadap para homoseksual ini pun diperlukan pendekatan personal sehingga informasi yang didapatkan bersifat akurat. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) alasan memilih jalan hidup sebagai homoseksual diantaranya adalah kebutuhan seksual yang mana dirasakan oleh kaum homoseks atau gay hanya bisa tertarik dengan sesama laki-laki saja, trauma percintaan dengan lawan jenis yang dirasakan cukup dalam oleh laki-laki sehingga memilih pasangan yang sejenis dengan harapan rasa sakitnya tidak terulang dan pengalaman seks yang kurang menyenangkan (sodomi)
mengakibatkan trauma berkepanjangan yang akhirnya menjadikan apa yang telah dialaminya sebagai pengalaman seks dan berlanjut sampai dengan waktu yang lama. 2) Pada dasarnya semua narasumber (masyarakat umum) berasumsi sama bahwa homoseksual merupakan individu dengan orientasi seks yang tidak wajar. Sikap yang ditunjukan terhadap para homoseksual berbeda-beda, ada yang cenderung terbuka dan bisa menerima keberadaannya, ada pula yang kurang bisa menerima keberadaannya bahkan ada yang sama sekali tidak bisa menerima
keberadaanya sehingga para homoseksual kerap mendapatkan cibiran dari sebagian masyarakat.
Perilaku para homoseksual ini memiliki kecenderungan dalam mencari pasangan melalui media sosial dan sisanya melalui perkenalan secara langsung.
Kata Kunci: Homoseksual, Masyarakat dan Kota Kupang

Pengaruh Profesi Komunitas terhadap Jaringan Komunikasi Sosial pada tingkat Puskesmas



Nomensen Banunaek,S.KM

BAB I
PENDAHULUAN

I.1   Latar Belakang
     Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi telah menyebabkan dunia menuju ke arah globalisasi yang hampir tidak memiliki batas-batas sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern.
Orang yang tak pernah berkomunikasi dengan orang lain, niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya akan membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Komunikasi merupakan bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas, sepanjang manusia ingin hidup, ia perlu berkomunikasi.
Berkomunikasi merupakan kebutuhan yang fundamental bagi seseorang yang hidup bermasyarakat, tanpa komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat, maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan komunikasi. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil.
Peristiwa komunikasi yang menggambarkan bagaimana seseorang menyampaikan sesuatu lewat bahasa atau simbol-simbol tertentu kepada orang lain sering kita temui, bagaimana seorang kepala desa memberikan pendapat dan menerima saran dari anggota masyarakatnya, bagaimana seorang politikus berkampanye menyampaikan program-program kerja yang ditawarkan di depan massa sehingga mampu menarik pendukung,
bagaimana bintang film, pengarang, ilmuwan dan lain-lain merebut penggemar karena kemampuannya menggunakan media komunikasi.
Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa, bahkan melalui komunikasi dapat mengembangkan pengetahuannya yakni belajar dari pengalamannya maupun melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya.
Upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya, proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesuaian disini bukan saja terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap gejala alam seperti banjir dan lain-lain yang bisa mempengaruhi perilaku manusia, tapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup.
Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi, suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku dan peranan. Misalnya bagaimana orang tua mengajarkan tatakrama bermasyarakat yang baik kepada anak-anaknya, bagaimana sekolah difungsikan untuk mendidik warga negaranya, dan bagaimana pemerintah dengan kebijaksanaan yang dibuatnya untuk mengayomi kepentingan anggota masyarakat yang dilayaninya.
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ia diperlukan untuk mengatur tatakrama pergaulan antar manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat. Pendek kata, bahwa keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan termasuk karir mereka, banyak ditentukan oleh kemampuannya berkomunikasi.
Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan yang tidak diharapkan, misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma masyarakat dan sebagainya. Komunikasi juga menghubungkan kontak sosial dengan orang lain melalui interaksi sosial. Interaksi sosial ini berada dalam satu jaringan sosial yang menghubungkan individu yang satu dengan yang lain.
Jaringan sosial itu sendiri adalah suatu jaringan relasi dan hubungan sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat.  Jaringan ini merupakan keseluruhan relasi dan hubungan sosial yang dapat diamati di suatu masyarakat, misalnya jaringan sosial yang terdapat di masyarakat desa, keseluruhan relasi dan hubungan sosial di kalangan pemimpin desa, antara pemimpin desa dan masyarakat desa, di kalangan warga masyarakat tersebut pada umumnya . Relasi dan hubungan sosial itu terdapat diberbagai bidang kehidupan yang meliputi ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain. Jaringan relasi dan hubungan sosial merupakan pencerminan hubungan antar status-status dan peran-peran dalam masyarakat. Jaringan sosial di masyarakat komplek lebih rumit dibanding masyarakat sederhana atau masyarakat primitif. (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, 1989 : 345). Analisis jaringan sosial mempunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa jaringan. Bahasa  jaringan ini mengandung dua konsep penting yaitu para aktor (nodes) dan ikatan-ikatan (ties). Para aktor, dalam analisis jaringan sosial, dapat mencakup orang-orang, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, atau bangsa-bangsa. Para aktor adalah unit-unit individual. Ikatan-ikatan mencerminkan hubungan-hubungan antara unit-unit. Ikatan-ikatan itu dapat hadir atau absen.
Analisis jaringan sosial untuk memahami tindakan individu dalam konteks hubungan terstruktur. Analisis berbasis jaringan ini cocok untuk digunakan dalam menjelaskan, dan menganalisis sistem kesehatan masyarakat. Ketika analisis terhadap hubungan dalam sebuah sistem sosial dilakukan, lebih dikenal dengan analisis  jaringan  komunikasi. Analisis  ini dapat digunakan untuk mengetahui arah  hubungan,  mengemukakan  pendapat, jaringan komunikasi personal, sampai pada kekompakan jaringan  komunikasi. Berbicara tentang jaringan komunikasi social, kenyataan yang ditemukan pada prinsipnya, tugas seorang sarjana kesmas itu lebih berat dari pada profesi dokter. bidang dokter bagiannya pada kesehatan perorangan, mengobati orang yang sakit. Namun masih ada pada jenjang kepemimpinan di pusat pelayanan kesehatan masyarakat  yang dalam struktur organisasinya tidak memperhatikan penempatan personil yang sesuai dengan tingkat pendidikan serta kompetensi serta profesi yang dimilikinya. Secara manajerial akibat dari jaringan komunikasi yang tidak terstruktur sesuai kompetensi tenaga serta lokasi pelayanannya, maka peneliti menganalisa hal ini akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas dalam membangun jaringan komunikasi yang tepat sasaran
Semakin ketatnya persaingan serta pelanggan yang semakin selektif dan berpengetahuan mengharuskan Puskesmas selaku salah satu penyedia jasa pelayanan kesehatan untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya. Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan, terlebih dahulu harus diketahui apakah pelayanan yang telah diberikan kepada pasien/pelanggan selama ini telah sesuai dengan harapan pasien/pelanggan atau belum.
Manusia adalah faktor kunci keberhasilan dari suatu pembangunan. Untuk menciptakan manusia yang berkualitas diperlukan suatu derajat kesehatan manusia yang prima sehingga dalam hal ini mutlak diperlukan pembangunan kesehatan. Untuk mendukung pencapaian pembangunan kesehatan pemerintah telah menyediakan beberapa sarana/fasilitas kesehatan beserta tenaga kesehatannya. Salah satu fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan masyarakat adalah Puskesmas. Sebagai ujung tombak pelayanan dan pembangunan kesehatan di Indonesia maka Puskesmas perlu mendapatkan perhatian terutama berkaitan dengan mutu pelayanan kesehatan Puskesmas sehingga dalam hal ini Puskesmas terlebih pada Puskesmas yang dilengkapi dengan unit rawat inap dituntut untuk selalu meningkatkan keprofesionalan dari para pegawainya serta meningkatkan fasilitas/sarana kesehatannya untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat pengguna jasa layanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang bermutu masih jauh dari harapan masyarakat, serta berkembangnya kesadaran akan pentingnya mutu, maka UU Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, khususnya ditingkat Puskesmas.
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tesebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan puskesmas biasanya berada di bawah Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota.
Masyarakat adalah jaringan sosial yang kompleks, terdiri dari sosial hubungan diadik dan triadik di mana satu sama lain saling terkait. Keberadaan dari hubungan sosial diciptakan oleh adanya kebutuhan atau tujuan yang ingin dicapai. Para pemeran di dalam jaringan sosial terikat satu sama lain oleh seperangkat/serangkaian harapan yang relatif stabil yang pada akhirnya menciptakan sejenis aturan-hukum-norma di antara mereka. Jaringan social juga menampilkan perilaku yang mirip di antara para pemerannya.  Tiap konteks social memiliki atau menciptakan sebuah jaringan sosial yang berbeda dengan jaringan lainnya. Berdasarkan paradigma jaringan komunikasi sosial ini, dengan memahami prinsip hubungan yang mengikat sejumlah aktor sehingga membentuk sebuah jaringan sosial, maka kita akan dapat memahami logika situasional, tipe pengendalian sosial, dan pertukaran social antar aktor dalam sebuah jaringan sosial; untuk menjelaskan konflik sosial, perubahan sosial, dan kendali sosial di antara mereka – dalam organisasi, negara, atau masyarakat.
Hal ini yang membuat peneliti merasa tertarik untuk melakuan analisis alasan apa yang menyebabkan jaringan komunikasi ini tidak sesuai dengan profesi dan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing disiplin ilmu. Penelitian berbasis jaringan ini, sangat bermanfaat untuk membantu memperluas dan memindahkan informasi kesehatan secara cepat dan tepat sasaran. Dengan demikian maka peneliti ingin meneliti tentang “Pengaruh Profesi Komunitas terhadap  Jaringan Komunikasi Sosial pada tingkat Puskesmas”
1.2. Rumusan Masalah
Pada prinsipnya, tugas seorang sarjana kesmas itu lebih berat dari pada profesi dokter. bidang dokter bagiannya pada kesehatan perorangan, mengobati orang yang sakit sedangkan profesi kesehatan masyarakat itu harus berupaya menjaga dan memelihara kesehatan semua orang disekitarnya melalui program-program kesehatan dan intervensi kesehatan di masyarakat. Namun masih ada pada jenjang kepemimpinan di pusat pelayanan kesehatan masyarakat  yang dalam struktur organisasinya tidak memperhatikan penempatan personil yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kompetensi serta profesi yang dimilikinya. Secara manajerial akibat dari jaringan komunikasi yang tidak terstruktur sesuai kompetensi tenaga serta lokasi pelayanannya, maka peneliti memandang hal ini akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas dalam membangun jaringan komunikasi yang tepat sasaran.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
          Jaringan komunikasi sosial yang kompeten, tentunya sangat bermanfaat dalam melakukan sebuah komunikasi yang terapiutik dan semua pesan-pesan yang berkaitan dengan upaya preventif, kurative, rehabilitif dan promotif yang bertujuan untuk meningkatan derajat kesehatan perorangan maupun masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dapat disebarluaskan sesuai dengan waktu tempat dan orang. Komunikasi di kalangan profesi kesehatan dalam upaya menjaga dan memelihara kesehatan semua orang disekitarnya melalui program-program kesehatan dan intervensi kesehatan di masyarakat dapat tercapai secara optimal.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.    Untuk Mengetahui jaringan komunikasi pada tingkat Puskesmas
2.    Untuk mengetahui Peranan komunikasi dalam bidang kesehatan
3.    Untuk mengetahui jaringan komunikasi kesehatan dalam sistem organisasi Puskesmas
4.    Untuk Mengetahui profesi komunitas terhadap komunikasi sosial.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1  Bagi Penulis
Dapat memberikan pengalaman bagi penulis dalam memperdalam materi perkuliahan ilmu sosial dan perilaku khususnya dalam jaringan komunikasi sosial pada tingkat puskesmas
I.4.1   Bagi Masyarakat
Dapat menjadi bahan bacaan atau informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya membangun komunikasi sosial yang baik dalam proses penanganan tindakan medis di tempat pelayanan kesehatan
I.4.2   Bagi Instansi Terkait
Dapat menjadi referensi untuk pelaksanaan program yang berkaitan dengan jaringan komunikasi sosial.


BAB III
ANALISIS

4.I Jaringan Komunikasi pada tingkat Puskesmas
Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang kompleks. Mulai dari ilmu yang digunakan dalam penyelesaian merupakan multidisiplin, sektor yang terkait pun multisektoral, serta subjek yang melaksanankannya pun berasal dari berbagai pihak. Pada tulisan ini yang akan penulis bahas mengerucut pada masalah pelaku kesehatan saja, yaitu masyarakat. Masyarakat memiliki porsi yang perlu diperhitungkan dalam penyelesaian masalah kesehatan dan peningkatan derajat kesehatan. Membicarakan pemberdayaan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari fungsi pelayanan kesehatan daerah setempat sebagai fasilitator masyarakat untuk memainkan perannya dalam pembangunan kesehatan di daerahnya sendiri. Selain itu, masalah pemberdayaan masyarakat menjadi hal yang harus dicermati oleh pemerintah mengingat mulai dikembangkannya paradigma sehat di Indonesia. Penerapan paradigma sehat merupakan model pembangunan kesehatan dalam jangka panjang agar mampu mendorong masyarakat untuk bersikap mandiri dalam memelihara kesehatan, melalui peningkatan pelayanan promotif dan preventif disamping kuratif dan rehabilitatif untuk mewujudkan Indonesia Sehat.
Program berbasis masyarakat ini merupakan stimulant dan bahan pembelajaran bagi masyarakat agar ikut berpartisipasi dan bertanggungjawab atas masalah kesehatan di wilayahnya. Untuk tercapainya keberhasilan program-program kesehatan tersebut, pemerintah pun harus siap untuk memfasilitasi masyarakat yang mencakup pemberian pengetahuan, pemahaman, dan sarana prasarana. Pengetahuan dan pemahaman dapat dilakukan dengan penyuluhan sedangkan sarana prasarana adalah melalui pelayanan kesehatan masyarakat, dalam hal ini adalah puskesmas, yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam usaha pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan kesehatan.
Pelayanan kesehatan merupakan setiap bentuk pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat dan dilaksanakan secara perseorangan atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara ataupun meningkatkan derajat kesehatan yang dipunyai. Selain itu terdapat lima fungsi utama pelayanan kesehatan di antaranya adalah;
1)    Mendorong masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan persoalan mereka sendiri,
2)    Memberi petunjuk kepada masyarakat tentang cara-cara menggali dan menggunakan sarana yangada secara efektif dan efisien,
3)    Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat,
4)    Memberi bantuan yang bersifat teknis, bahan-bahan serta rujukan,
5)    Bekerja sama dengan sektor lain dalam melaksanakan program kerja Puskesmas.
Dalam teori Blum dijelaskan pula bahwa, status kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu; lingkungan (45%), perilaku (30%), pelayanan kesehatan (20%) dan faktor keturunan (5%). Berbagai penjelasan di atas sudah jelas menggambarkan pentingnya pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengakomodir kebutuhan akan pelayanan kesehatan ini.
Puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu. Beralih pada fungsi puskesmas, dalam Sistem Kesehatan Nasional dijelaskan bahwa Puskesmas memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sedang pelayanan upaya kesehatan di Puskesmas tersebut dilaksanakan melalui berbagai kegiatan pokok, yaitu :
1)   Peningkatan kesejahteraan ibu dan anak,
2)   Peningkatan upaya keluarga berncana,
3)   Perbaikan gizi 4)peningkatan kesehatan lingkungan,
4)   Pencegahan dan pemberantasan penyakit,
5)   Penyuluhan kesehatan masyarakat,
6)   Pengobatan termasuk penanggulangan kecelakaan,
7)   Perawatan kesehatan masyarakat,
8)   Peningkatan usaha kesehatan sekolah,
9)   Peningkatan usaha kesehatan gigi dan mulut,
10)Peningkatan kesehatan jiwa,
11)Peningkatan kesehatan jiwa,
12)Pemeriksaan laboratorium sederhana
13)Pencatatan dan pelaporan.
             Dengan penjabaran upaya kesehatan yang berasal dari Puskesmas tersebut, tidak mengherankan jika pelayanan kesehatan (puskesmas) menempati posisi penting dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Apalagi dengan adanya desentralisasi permasalahan kesehatan di tingkat nasional ke daerah merupakan inovasi yang patut disambut dengan baik untuk menanggulangi berbagai masalah kesehatan seperti disparitas pelayanan kesehatan yang masih tinggi, rendahnya kualitas kesehatan penduduk miskin, rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, birokratisasi pelayanan Puskesmas, dan minimnya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang terinstitusionalisasi mempunyai kewenangan yang besar dalam menciptakan inovasi model pelayanan kesehatan di aras basis. Artinya, puskesmas memiliki satu peran strategis untuk mengorganisir masyarakat dalam mengupayakan kesehatan masyarkat. Hal ini pun telah tertuang di dalam Sistem Kesehatan Nasional, dalam bab keempat : subsistem upaya kesehatan, disebutkan di dalamnya bahwa subsistem upaya kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
              Tujuan dari upaya kesehatan yang saling mendukung ini adalah terselenggaranya upaya kesehatan yang tercapai (accessible), terjangkau (afforrdable), dan bermutu (quality) untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dengan demikian, pemerintah maupun penyelenggara pelayanan kesehatan tidak dapat bekerja sendiri untuk membangun kesehatan masyarakat. Baik masyarakat maupun individu dari masyarakat itu sendiri juga harus memiliki pemahaman yang sama dengan pemerintah. Oleh karena itulah, sudah menjadi konsekuensi pemerintah atau petugas pelayanan kesehatan (puskesmas) untuk memberdayakan dan mengorganisasikan masyarakat. Seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya, puskesmas memiliki peran untuk memberdayakan masyarakat, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dalam membangun kesehatan masyarakat. Telah disebutkan pula pada paragraf awal bahwa masalah pemberdayaan masyarakat ini pun muncul akibat tercetusnya paradigma sehat demi meningkatkan derajat kesehatan di masyarakat. Pentingnya pemberdayaan masyarakat pun disebutkan Winslow (1920) dalam teorinya tentang kesehatan masyarakat. Arti kesehatan masyarakat menurut Winslow; yaitu ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk perbaikan sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit-penyakit menular, pendidikan untuk kebersihan perorangan, dan pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan. Sebelum beranjak lebih jauh, penulis akan menjelaskan lebih dulu pengertian dan fungsi pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat, sebagai bentuk upaya peningkatan fungsi Puskesmas. Pengorganisasian masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan kesehatan masyarakat, pada hakikatnya adalah menghimpun potensi masyarakat atau sumber daya (resources) yang ada di dalam masyarakat itu sendiri untuk upaya-upaya, yaitu: preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif kesehatan mereka sendiri.
                  Dari sumber lain, pengorganisasian dan pengembangan masyarakt diartikan sebagai teknologi yang digunakan untuk melakukan intervensi pada faktor pendukung (enabling factors) sebagai salah satu prasyarakat untuk terjadinya proses perubahan perilaku. Dengan teknologi pengorganisasian dan pengembangan sumber daya yang ada pada masyarakat sehingga mampu mandiri untuk meningkatkan derajat kesehatannya (Sasongko, 2000). Pengorganisasian masyarakat bertujuan untuk mendorong secara efektif modal sosial masyarakat agar mempunyai kekuatan untuk menyelesaikan permasalahan dalam hal kesehatan secara mandiri. Melalui proses pengorganisasian, masyarakat diharapkan mampu belajar untuk menyelesaikan ketidakberdayaannya dan mengembangkan potensinya dalam mengontrol kesehatan lingkungannya dan memulai untuk menentukan sendiri upaya-upaya strategis di masa depan; Memperkokoh kekuatan komunitas basis: Pengorganisasian masyarakat bertujuan untuk membangun dan menjaga keberlanjutan kelompok-kelompok kesehatan (Posyandu, Polindes, Dokter Kecil dan lainnya). Organisasi di area komunitas dapat menjamin tingkat partisipasi, pada saat bersamaan, mengembangkan dan memperjumpakan dengan organisasi atau kelompok lain untuk semakin memperkokoh kekuatan komunitas, serta membangun aliansi untuk menambah proses pembelajaran dan menambah kekuatan diri. Dari dua hal di atas, yaitu peran pemerintah dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan, muncul kontroversial bahwa pemerintah sewajarnya menjadi penanggung jawab dari kesejahteraan termasuk kesehatan warga negaranya namun haruskah masyarakat dilibatkan dalam pembangunan kesehatan ini? Apakah dengan diberdayakannya masyarakat lantas artinya pemerintah ’angkat tangan’ dalam tanggung jawab ini? Perlu kita pahami bahwa masalah kesehatan merupakan masalah yang perlu diupayakan oleh semua orang atau semua pihak. Ada ungkapan lebih baik mencegah daripada mengobati, filosofi ini muncul karena kesehatan menjadi masalah berat apabila orang atau masyarakat mengalami sakit. Selain itu, kesehatan sebenarnya dapat diupayakan oleh tiap individu atau masyarakat asalkan mau berperilaku sehat. Oleh karena itu, akhirnya peran pemerintah tidak hanya menyediakan pelayanan kesehatan yang accessible, baik dalam hal jarak maupun penjaminan masyarakat atas pelayanan kesehatan tersebut, tapi juga memberikan pencerdasan melalui penyuluhan atau pengkaderan masyarakat agar dapat berupaya untuk hidup sehat, dalam hal ini merupakan peran petugas kesehatan pelayanan kesehatan (puskesmas) setempat. Dari fungsi Puskesmas yang telah kita bahas sebelumnya pun jelas peran Puskesmas bukan saja persoalan teknis medis tetapi juga bagaimana keterampilan sumber daya manusia yang mampu mengorganisir modal sosial yang ada di masyarakat. Lalu sejauh apa masyarakat terlibat dalam pembangunan kesehatan demi tercapainya paradigma sehat? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis akan mengaitkan program-program puskesmas yang berbasis. Satu diantarnya adalah upaya perbaikan gizi masyarakat: pembinaan pengembangan UPGK dan pelayanan gizi.
                  Pembinaan UPGK merupakan kegiatan kunjungan petugas Puskesmas ke tiap posyandu desa atau RW. Selain itu, Kegiatan ini meliputi penyuluhan, pemberian nasehat pada masyarakat ataupun kader atau volunter di desa/RW tersebut. Tindak lanjut dari penyuluhan ini biasanya diterapkan para kader kesehatan di desa atau RW setempat dalam kegiatan Posyandu, misalnya saja dengan pemberian makanan tambahan pada masyarakat yang menimbang anaknya ke posyandu serta transfer ilmu dari kader kesehatan pada masyarakat setempat. Dengan demikian, harapan dari adanya penyuluhan sekaligus pemberian makanan yang memenuhi gizi ini dapat menjadi awal dari tindakan masing-masing keluarga untuk menggalakkan peningkatan gizi kesehatan. Selain itu, baru-baru ini puskesmas Sukmajaya Depok mengadakan penyuluhan kepada para kader di Kelurahan Baktijaya dalam rangka Pelaksanaan Klinik Sanitasi dan Kelurahan Sehat Berbasis Masyarakat.
                  Klinik sanitasi merupakan suatu upaya kegiatan yang mengintegrasikan layanan kesehatan promotif, preventif, dan kuratif yang difokuskan pada penduduk yang beresiko tinggi untuk mengatasi masalah penyakit berbasis lingkungan dan masalah kesehatan lingkungan pemukiman yang dilakukan oleh petugas Puskesmas bersama masyarakat yang dapat dilaksanakan secara pasif dan aktif di dalam dan di luar Puskesmas. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa masing-masing pihak, baik pihak Puskesmas maupun masyarakat memiliki peran dalam upaya ini. Lebih jelasnya adalah Puskesmas berperan menyelenggarakan pelaksanaan klinik sanitasi di dalam dan di luar gedung Puskesmas (terjun langsung ke RW/ daerah binaanya), mengumpulkan dan mengolah data tentang kualitas lingkungan, melakukan pengawasan, penilaian dan perbaikan kualitas lingkungan. Bagaimana karakteristik dan potensi tiap daerah tentu saja lebih diketahui oleh masyarakat yang terkait bukan? di sinilah peran masyarakat dalam program ini. Selain menjadi sumber informasi atas kualitas lingkungan yang akan dijadikan parameter penanggulangan masalah penyakit berbasis lingkungan, masyarakat juga punya peran untuk membina keluarga yang sadar akan kesehatan, ikut serta melakukan intentarisasi data sarana kesehatan lingkungan, melakukan pengorganisasian dan pendanaan, serta mengembangkan cara penilaian oleh masyarakat sendiri. Dengan begitu, kita kembali menyimpulakan bahwa Puskesmas perlu memberdayakan dan mengorganisir masyarakat, paling tidak kader kesehatan di tiap daerah, untuk ikut serta dalam pembangunan kesehatan di lingkungan tempat tinggal mereka karena pemerintah kita pun memiliki keterbatasan petugas kesehatan profesional dan pendanaan yang kurang optimal untuk mendukung semua program kesehatan daerah. Dari contoh-contoh program kesehatan Puskesmas yang melibatkan pemberdayaan masyarakat, kita dapat lihat bahwa keterlibatan masyarakat dalam upaya-upaya kesehatan ternyata cukup besar, mulai dari sebagai sumber informasi dan data, tataran pelaksanaan termasuk pendanaan, sampai penilaian program itu sendiri. Apakah lantas artinya pemerintah/Puskesmas lepas tangan? Penulis tidak melihat indikasi itu meskipun terlihat ketelibatan masyarakat cukup luas. Untuk mengawali program ini, Puskesmas terlebih dahulu memberikan penyuluhan kepada kader kesehatan di masyarakat. Selain dari itu, telah disebutkan pula bahwa petugas Puskesmas-lah yang menyipkan penanganan dari klinik Sanitasi meskipun dengan keterbatasan sumber daya manusia yang profesional di bidang medis memaksa petugas puskesmas ini mobile, bisa jadi berada di dalam dan di luar Puskesmas. Masalah pendanaan, membicarakan pendanaan memang lebih memicu sensivitas, sumber dana dari klinik sanitasi ini diperoleh dari Dana Operasional Puskesmas APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, bantuan luar negeri, Kemitraan dan swadaya masyarakat. Letak Puskesmas yang dekat dengan tempat tinggal masyarakat dan lebih dijangkau masyarakat menumbuhkan peran yang lebih dari Puskesmas.
                  Oleh karena itu pula, pemerintah lebih bisa membuat program-program kesehatan berbasis masyarakat melalui Puskesmas. Program-program kesehatan berbasis masyarakat dirasa penulis efektif dalam memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat karena tidak semua upaya untuk sehat membutuhkan pelayanan medis tapi juga harus didukung dengan perilaku sehat, lingkungan yang bersih dan sehat. Meskipun sekarang ini sudah muncul banyak Posyandu di tiap desa atau RW namun peran Puskesmas tetap dibutuhkan sebab penyelenggara Posyandu merupakan masyarakat setempat yang masih membutuhkan pengarahan dari petugas kesehatan, dalam hal ini adalah petugas Puskesmas. Pemberdayaan masyarakat dalam program-program kesehatan berbasis masyarakat bukan merupakan upaya lepas tangan seperti apa yang dilakukan pemerintah dalam perberlakuan BHP, tapi hal ini merupakan hasil perumusan solusi dari berbagai masalah kesehatan yang kompleks di Indonesia, mulai darikurangnya sumber daya manusia profesional, dana dan kurangnya kemampuan pemerintah pusat dalam memantau masalah kesehatan di daerah-daerah. Seperti yang kita tahu dari teori Blum ataupun Winslow pada pembahasan sebelumnya bahwa untuk menciptakan kesehatan diperlukan kerjasama yang baik antara penyelenggara pemerintahan dan masyarakat sendiri.
                  Upaya-upaya pencegahan penyakit sebenarnya bisa dilakukan oleh tiap individu atau keluarga di masyarakat sedangkan upaya kuratif dan rehabilitaif membutuhkan peran pemerintah yang sebesar-besarnya dalam penyediaan pelayanan medis di tiap daerah. Meskipun begitu, pemerintah tetap punya tanggungjawab untuk memberikan fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mencerdaskan dan memberikan pengetahuan pada masyarakat bagaimana berperilaku sehat dan menciptakan lingkungan yang sehat untuk mendukung upaya peningkatan derajat kesehatan mulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat sampai akhirnya tingkat negara. Hanya saja, penulis harapkan pada pertugas Puskesmas agar menjaga maintanance program-program kesehatan berbasis masyarakat ini. Jangan sampai setelah memberikan penyuluhan dan pemberian sarana lantas tidak dipantau karena bagaimanapun juga masyarakat yang terlibat tidak semuanya paham akan pentingnya program-program tersebut, meskipun sebenarnya program tersebut dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan (kesehatan) hidup mereka sendiri. Selain dari itu, pemantauan yang dilakukan pun haruslah rutin meskipun sudah terlihat adanya kemandirian dari masyarakat dan juga pemberian reward pada kader kesehatan yang dianggap bisa dijadikan teladan bagi kader kesehatan lainnya demi munculnya rasa dihargai oleh petugas Puskesmas yang mereka anggap sebagai perpanjangan tanngan dari pemerintahan negara. Semoga dengan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, dalam hal ini adalah Puskesmas, dan masyarakat dapat mewujudkan derajat kesehatan yang lebih baik untuk Indonesia yang lebih baik.
                  Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dalam menentukan seorang pemimpin pada pusat pelayanan kesehatan masyarakat harus didasarkan pada undang-undang no.36 tahun 2009 tentang kesehatan, Bab 1 bagian kedua tentang fasilitas pelayanan kesehatan, Pasal 33, (1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Sehingga semua hal yang berkaitan dengan ruang lingkup pelayanan kesehatana masyarakat. Puskesmas merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan dan pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama, ini sangat membutuhkan Tenaga kesehatan yang secara syah mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidangnya. Namun keberadaan profesi kesehatan masyarakat di tengah-tengah masyarakat belum bayak diperhitungkan baik sektor pemerintah maupun swasta.  Apabila penempatan ketenagaan ini sesuai dengan kulaifikasi kompetensi serta pendidikan yang tepat, maka harapan bahwa penyebarluasan informasi kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat benar-benar mengenai sasaran yang dituju. Jaringan komunikasi social ini penting untuk menjalin hubungan komunikasi yang memberikan dampak yang dapat merubah perilaku hidup masyarakat dari kebiasaan yang buruk menuju pada kebiasaan yang seharusnya dan sehat secara jasmani maupun rohani. Individu yang mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu Kesehatan masyarakat (public health) adalah individu yang orientasi kerjanya tidak terbatas tapi mencakup keseluruhan lapisan masyarakat dalam upaya  mencegah penyakit, memperpanjang hidup, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, dan efisiensi melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk meningkatkan sanitasi lingkungan, kontrol infeksi di masyarakat, pendidikan individu tentang kebersihan perorangan, pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan, untuk diagnosa dini, pencegahan penyakit dan pengembangan aspek sosial, yang akan mendukung agar setiap orang di masyarakat mempunyai standar kehidupan yang adekuat untuk menjaga kesehatannya.
                  Contoh yang dapat disajikan oleh penulis dalam makalah ini berkaitan dengan kegiatan pekan imunisasi nasional (PIN). Pelayanan ini dilakukan secara serentak di Indonesia. Dimana dalam waktu satu hari informasi tentang pemberian imunisasi pada bayi balita datanya sudah harus dilaporkan dalam satu kali 24 jam sampai pada kementerian kesehatan Indonesia. Pelayanan ini tidak dapat di komunikasikan secara cepat apabila tidak di bentuk tim atau jaringan komunikasi social yang melibatkan masyarakat, stakeholder, perawat komunitas, tenaga medis, kader kesehatan dan ketersediaan alat-alat yang merupakan jaringan elektronik dengan operator khusus. Keberhasilan dari pelayanan ini sangat ditentukan pula oleh peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat adalah proses dimana individu, keluarga, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan masyarakat luas pada umumnya. Petugas komunitas bersama sektor yang bersangkutan menggerakkan masyarakat dalam bentuk pengorganisasian masyarakat yaitu proses pembentukkan organisasi di masyarakat dan dapat mengidentifikasi kebutuhan prioritas dari kebutuhan tersebut, serta mengembangkan keyakinan dan berusaha memenuhi atas sumber – sumber yang ada di masyarakat.  Peran serta masyarakat adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan berdasarkan gotong royong dan swadaya masyarakat dalam rangka menolong mereka sendiri, mengenal, memecahkan masalah, dan kebutuhan yang dirasakan masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan agar mampu memelihara kehidupannya yang sehat dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat



 4.2.  Peranan Komunikasi dalam bidang Kesehatan
Komunikasi Kesehatan menjadi semakin populer dalam upaya promosi kesehatan selama 20 tahun terakhir. Contoh, komunikasi kesehatan memegang peranan utama atau pengontribusi dalam pemenuhan 219 dari 300 tujuan khusus dalam Healthy People 2010. Apabila digunakan secara tepat, komunikasi kesehatan dapat mempengaruhi sikap, persepsi, kesadaran, pengetahuan dan norma sosial yang kesemuanya berperan sebagai precursor dapa perubahan prilaku. Komunikasi kesehatan sangat efektif dalam mempengaruhi prilaku karena didasarkan pada psikologi sosial, pendidikan kesehatan, komunikasi massa, dan pemasaran untuk mengembangkan dan menyampaikan promosi kesehatan  dan pesan pencegahan –pencegahan.
Karya awal yang mempengaruhi perkembangan komunikasi kesehatan di susun oleh National Cancer Institute (NCI) dan diberi judul Making Health Communication Programs Work: A Planner’s Guide. Panduann ini menyatakan bahwa bidang ilmu seperti pendidikan kesehatan, pemasaran sosial, dan komunikasi massa secara bersama mendefinisikan komunikai kesehatan. Bukan hal luar biasa apabila mendengar peryataan bahwa komunikasi kesehatan bahkan merupakan nama yang lebih baik untuk profesi daripada promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam promosi kesehatan melibatkan komunikasi untuk kesehatan. Kenyataannya, komunikasu kesehatan telah didefinisikan secara luas oleh Everett Rogers, seorang pelopor dalam bidang komunikasi, sebagai segala jenis komunikasi manusia yang berhubungan dengan kesehatan.
Komunikasi kesehatan juga dapat mencerminkan bagaimana persoalan kesehatan diterima oleh audiens tertentu. Contoh, NCI mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai seni dan teknik menyampaikan informasi, mempengaruhi, dan memotivasi individu, institusi, dan audiens public tentang pentingnya persoalan kesehatan. The Centers of Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai suatu ilmu dan sebagai penggunaan strategi komunikasi untuk menyampaikan informasi dan mempengaruhi keputusan individu dan masyarakat yang dapat meningkatkan kesehatan. Walau begitu, masih ada orang yang membicarakan konsep tersebut dengan menekankan berbagai bentuk aplikasinya , termasuk advokasi media, komunikasi resiko, pendidikan hiburan, materi cetak, dan komunikasi interaktif.
Ada dua perspektif utama yang diambil ketika mempertimbangkan komunikasi kesehatan dalam praktik promosi kesehatan saat ini. Beberapa praktisi memandang komunikasi massa sebagai proses menyeluruh yang membingkai penerapan intervensi promosi kesehatan. Praktisi ini memandang komunikasi kesehatan sebagai strategi atau aktifitas sempit seperti publikasi informasi atau sejenis komunikasi. Antar personal yang mungkin berlangsung antara pendidik kesehatan dan kliennya. Kedua pemikiran itu menyebabkan komunikasi kesehatan rentan terhadap penafsiran yang luas dan kesalahpahaman.
komunikasi kesehatan diperlukan di bidang kesehatan karena komunikasi dalam kesehatan merupakan kunci pencapaian peningkatan tarap atau tingkat kesehatan masyarakat. Sejauh ini komunikasi senantiasa berkembang seiring berkembangnya dunia teknologi komunikasi. komunikasi yang dulunya biasa dilakukan dengan penyuluhan yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat dan dilakukan dengan media audio/radio sekarang lebih popular dengan penyampaian pesan atau informasi kesehatan melalui media internet maupun media cetak dan elektronik. Tidak hanya bernilai praktis namun mempunyai nilai ekonomis dan tampilannya lebih menarik. Media yang berkembang tersebut sangat membantu dalam ketercapaian komunikasi kesehatan karena tercapai atau tidaknya komunikasi kesehatan lebih dikarenakan penggunaan media informasi yang tepat, pesan yang sistematis dan mudah dimengerti.
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya selalu memerlukan orang lain dalam menjalankan dan mengembangkan kehidupannya. Hubungan dengan orang lain akan terjalin bila setiap individu melakukan komunikasi diantara sesamanya. Kepuasan dan kenyamanan serta rasa aman yang dicapai oleh individu dalam berhubungan sosial dengan orang lain merupakan hasil dari suatu komunikasi. Komunikasi dalam hal ini menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan integritas diri setiap manusia sebagai bagian dari sistem sosial.
Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari memberikan dampak yang sangat penting dalam kehidupan, baik secara individual maupun kelompok. Komunikasi yang terputus akan memberikan dampak pada buruknya hubungan antar individu atau kelompok. Tatanan klinik seperti rumah sakit yang dinyatakan sebagai salah satu sistem dari kelompok sosial mempunyai kepentingan yang tinggi pada unsur komunikasi.
Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja Komunikasi di lingkungan rumah sakit diyakini sebagai modal utama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang akan ditawarkan kepada konsumennya. Konsumen dalam hal ini juga menyangkut dua sisi yaitu konsumen internal an konsumen eksternal. Konsumen internal melibatkan unsur hubungan antar individu yang bekerja di rumah sakit, baik hubungan secara horisontal ataupun hubungan secara vertikal. Hubungan yang terjalin antar tim multidisplin termasuk keperawatan, unsur penunjang lainnya, unsur adminitrasi sebagai provider merupakan gambaran dari sisi konsumen internal. Sedangkan konsumen eksternal lebih mengarah pada sisi menerima jasa pelayanan, yaitu klien baik secara individual, kelompok, keluarga maupun masyarakat yang ada di rumah sakit.Seringkali hubungan buruk yang terjadi pada suatu rumah sakit, diprediksi penyebabnya adalah buruknya sistem komunikasi antar individu yang terlibat dalam sistem tersebut.
Ellis (2000) menyatakan jika hubungan terputus atau menjadi sumber stres, pada umumnya yang ditunjuk sebagai penyebabnya adalah komunikasi yang buruk.Keperawatan yang menjadi unsur terpenting dalam memberikan pelayanan dalam hal ini perawat berperan sebagai provider. Fokus perhatian terhadap buruknya komunikasi juga terjadi pada tim keperawatan. Hal ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya adalah: Lemahnya pemahaman mengenai penggunaan diri secara terapeutik saat melakukan intraksi dengan klien, Kurangnya kesadaran diri para perawat dalam menjalankan komunikasi dua arah secara terapeutik, Lemahnya penerapan sistem evaluasi tindakan (kinerja) individual yang berdampak terhadap lemahnya pengembangan kemampuan diri sendiri.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu diupayakan suatu hubungan interpersonal yang mencerminkan penerapan komunikasi yang lebih terapeutik. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan permasalahan yang dapat terjadi pada komunikasi yang dijalin oleh tim keperawatan dengan kliennya. Modifikasi yang perlu dilakukan oleh tim keperawatan adalah melakukan pendekatan dengan berlandaskan pada model konseptual sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan keperawatan. Sebagai contoh adalah melakukan komunikasi dengan menggunakan pendekatan model konseptual proses interpersonal yang dikembangkan oleh Hildegard E.Peplau.
4.3.   Jaringan Komunikasi Kesehatan dalam Sistem Organisasi                       Puskesmas
  Komunikasi dapat ditransmisikan dalam sejumlah arah dalam suatu organisasi: bawah atau ke atas rantai organisasi. Horizontal untuk rekan-rekan di dalam atau di luar unit organisasi, atau dari unit luar lokasi organisasi formal itu. Saluran komunikasi dapat bersifat formal informal, tergantung cara mereka menghubungkan jaringan. Jaringan adalah sistem jalur komunikasi yang menghubungkan pengirim dan penerima menjadi organisasi sosial yang berfungsi. Jaringan ini mempengaruhi perilaku individu yang bekerja di dalamnya, dan posisi yang ditempati individu dalam jaringan memainkan peran kunci dalam menentukan perilaku mereka dan perilaku orang-orang yang mereka pengaruhi.
Jaringan komunikasi merupakan faktor dalam situasi yang dapat bervariasi secara independen dari tugas atau gaya kepemimpinan dalam kelompok, meskipun biasanya erat terkait dengan itu. Ketika tugas membutuhkan jenis tertentu dari jaringan komunikasi untuk kinerja optimal. gaya pemimpin cenderung untuk menempatkan batasan pada frekuensi, durasi, dan arah komunikasi anggota. Namun, semua tiga variabel. tugas, jaringan komunikasi, dan kepemimpinan, adalah serupa bahwa mereka adalah cara untuk memanipulasi situasi untuk kelompok dengan menetapkan norma-norma untuk bentuk dan isi interaksi.
Ada beberapa cara untuk melihat jaringan komunikasi Pertama kita bisa memikirkan semua komunikasi organisasi yaitu internal, eksternal keatas, ke bawah, dan horizontal--sebagai jaringan yang dikelola dari arus informasi. Kedua kita dapat melihat sistem komunikasi organisasi sebagai jumlah dari kelompok subsistem jaringan komunikasi fungsional yang terkait dengan satu atau lebih tujuan organisasi. Ketiga, kita dapat memeriksa kategori utama untuk mengklasifikasikan tujuan yang berbeda dari anggota organisasi. Empat, Kita bisa mempertimbangkan efek jaringan komunikasi tertentu pada kinerja kelompok.
Sebelum melihat jaringan komunikasi organisasi, alangkah baiknya, kita perlu memahami hubungan antara bentuk jaringan dan fungsi pelaksanaannya. Bagaimana kelompok terstruktur memiliki banyak kaitannya dengan efektivitas dalam melaksanakan tugasnya, dan dengan kepuasan yang diperoleh kepada para anggotanya. Bentuk yang usang memiliki banyak kaitannya dengan kegagalan untuk berfungsi dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan sekitar. Organisasi sosial dapat menjadi usang dalam bentuk, dan membawa kepunahan mereka sendiri. Prinsip ini sering ditunjukkan pada tingkat subsistem yang kita sebut jaringan.
Oleh karena itu kita akan menyadari bahwa tidak ada pola universal. Dari himpunan spesifikasi kita mungkin bukan hanya memperoleh pola komunikasi tunggal tetapi seluruh pola, Secara logis semua cukup memadai untuk menunjang kinerja yang sukses dari suatu tugas. komunikasi organisasi sebagai jaringan informasi yang teratur menyiratkan sifat dinamis dari perilaku organisasi. Ini juga menegaskan penerimaan dua hal berikut. Pertama, informasi adalah komoditas yang harus berpindah dari orang satu ke orang yang lain dan dari departemen ke departemen. Kedua, Komunikasi adalah kegiatan yang mirip dengan kegiatan organisasi lainnya yaitu, penjualan pemasaran, keuangan, produksi. Sehingga harus ada departemen komunikasi dengan wewenang, tanggung jawab, dan anggaran untuk mengelola komunikasi organisasi.
Pembangunan jaringan informasi yang dikelola akan berdasar pada pertanyaan kritis tertentu. yaitu : 1). Bagian mana pada perusahaan yang tergantung pada informasi dan apa pihak apakah itu ingin mendapatkan informasi ke? 2). Jenis informasi apakah yang diinginkan dari mereka dan informasi seperti apakah yang mereka inginkan? 3). Saluran apa yang harus digunakan dalam alur informasi, yaitu, di mana seharusnya memulai informasi atau asal mulanya, melalui perantara apa informasi itu disampaikan, siapa penerima utama?  4). sarana komunikasi apa yang seharusnya digunakan: radio, koran, memo, konferensi, wawancara, surat atau kombinasi dari mereka? 5). Kontrol apa yang harus dimasukkan ke dalam sistem ini sehingga perusahaan dapat mengevaluasi efektivitas dan efisiensi berdasarkan kriteria tertentu dan dalam hal tujuan tertentu?
Salah satu keuntungan untuk membangun sistem seperti ini akan menjadi identifikasi di mana masalah komunikasi itu berada, apakah itu kebuntuan, berlebihan, kesenjangan. Hal ini juga memungkinkan untuk koordinasi pesan dalam organisasi. Selain itu, manajemen dapat mengevaluasi hasil kinerja komunikasi. Jaringan komunikasi regulatif berkaitan dengan tujuan organisasi mengamankan kesesuaian dengan rencana. untuk menjamin produktivitas. Hal ini berkaitan dengan kontrol. Pesanan, dan bentuk lain dari arah dan umpan balik antara bawahan dan atasan dalam kegiatan tugas terkait. Contoh komunikasi regulatif adalah pernyataan kebijakan, prosedur, dan aturan. Jaringan komunikasi yang inovatif berusaha untuk menjamin kemampuan beradaptasi suatu organisasi dengan variatifnya pengaruh internal dan eksternal (teknologi, sosiologis, pendidikan, Ekonomi, politik) dan sebagainya memberikan kontribusi untuk terus produktif dan efektif. Hal ini berkaitan dengan pemecahan masalah, adaptasi terhadap perubahan, dan strategi dan pelaksanaan pengolahan ide baru. Beberapa contoh adalah sistem saran dan pertemuan pemecahan masalah partisipatif.
Jaringan komunikasi Integratif (maintenance) adalah berhubungan dengan perasaan untuk diri, rekan, dan pekerjaan, dan secara langsung berkaitan dengan tujuan organisasi semangat kerja karyawan. Hal ini secara tidak langsung terkait dengan pelembagaan, yang melibatkan penerimaan organisasi dengan nonanggota seperti masyarakat dan pemerintah unit. Hal ini dimanifestasikan dengan perilaku yang mendukung dan mempertahankan diri yang berkisar dari desas-desus dan status simbol informal untuk penghargaan dan unsur-unsur realisasi diri dan manusia-pemenuhan sangat terlihat. Beberapa contoh adalah selentingan, pujian dari atasan, dan promosi.
Alat bantu jaringan komunikasi informatif-edukatif dalam mengamankan tujuan organisasi kesesuaian, kemampuan beradaptasi, moral, dan pelembagaan, dan dengan demikian bekerja untuk produktivitas dan efektivitas tingkat yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan mendapatkan dan memberikan informasi tidak terkait dengan jaringan komunikasi lainnya, dan termasuk instruksi yang memungkinkan bawahan untuk benar melaksanakan persyaratan kerja: misalnya; pemberitahuan papan buletin, publikasi perusahaan, dan kegiatan pelatihan. lima kategori utama untuk mengklasifikasikan tujuan yang berbeda dari komunikasi organisasi. Kelima kategori tersebut adalah informasi diterima atau disebarluaskan, instruksi yang diberikan atau diterima, persetujuan diberikan atau diterima, kegiatan pemecahan masalah, dan komunikasi atau desas-desus non bisnis yang terkait. Kelima kategori menunjukkan beberapa kesimpulan umum: 1). Tujuan yang komunikasi muncul terpisah menjadi empat tingkatan frekuensi. Transmisi informasi berada jauh tertinggi, diikuti oleh instruksi dan pemecahan masalah di posisi tengah, dan dengan desas-desus dan persetujuan di frekuensi terendah. Sangat sedikit variasi antara manajer dan non manajer dalam komposisi frekuensi subyek komunikasi mereka. 2). Komunikasi dapat mengalir ke atas atau bawah, di dalam atau di luar, atau diagonal ke dan dari. Nonmanajer membatasi komunikasi nonbisnis ke hubungan horisontal organisasi jauh lebih sering daripada manajer. 3). Keanggotaan jaringan dapat dipertimbangkan dalam hal (a) jumlah total individu dengan siapa seseorang berkomunikasi dan lokasi unit dalam organisasi, (b) tingkat organisasi dari para anggota dalam hal berkomunikasi secara vertikal, horizontal, atau diagonal , dan (c) sifat atau tujuan komunikasi. Sebagian besar keanggotaan jaringan antara rekan-rekan seseorang di unit lain (struktur horizontal) dan pada orang di tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam unit selain home base sendiri (struktur diagonal). "
4. 4. Profesi Komunitas terhadap Komunikasi Sosial
               Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk pengembangan teori yang sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama, serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayanan. Atau Profesi merupakan suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat.
Ciri-ciri profesi menurut Winsley,(1964 ):
1.         Didukung oleh badan ilmu ( body of knowledge ) yang sesuai dengan bidangnya, jelas wilayah kerja keilmuannya dan aplikasinya.
2.         Profesi diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang terencana, terus menerus dan bertahap
3.         Pekerjaan profesi diatur oleh kode etik profesi serta diakui secara legal melalui perundang-undangan
4.         Peraturan dan ketentuan yag mengatur hidup dan kehidupan profesi (standar pendidikan dan pelatihan, standar pelayanan dan kode etik) serta pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut dilakukan sendiri oleh warga profesi

Interaksi yang terjadi dalam masyarakat melibatkan berbagai aspek misalnya pendidikan, kebudayaan, keagamaan, kesehatan dan lain-lain. Aspek yang akan dibahas di artikel ini adalah aspek kesehatan. Khususnya tindakan pencegahan terhadap penyakit yang dapat menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Masalah kesehatan pada dasarnya merupakan masalah semua manusia. Karena tidak ada satu manusiapun yang dapat terbebas dari penyakit. Namun, terkadang ada beberapa orang yang kurang memperhatikan kesehatan sehingga menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi dirinya maupun orang lain disekitarnya. Masalah kesehatan juga dapat timbul dari faktor penyakit (agent) yang dapat menyebabkan seseorang menderita sakit. Oleh karena itu, diperlukan tenaga ahli dalam bidang kesehatan masyarakat, yang dapat membawa masyarakat ke hidup yang lebih sehat. Tenaga ahli tersebut salah satunya adalah sarjana kesehatan masyarakat atau biasa disebut SKM.
Seorang SKM memiliki tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut adalah dengan melakukan interaksi langsung dengan masyarakat. Dalam interaksi ini terjadi proses komunikasi. Suatu interaksi sosial yang baik harus menggunakan komunikasi yang efektif. Untuk dapat memperoleh komunikasi yang efektif seorang SKM harus dapat memahami prinsip komunikasi yang ada.
Prinsip yang pertama menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses simbolik. Komunikasi merupakan proses pembentukan simbol. Simbol dapat berupa huruf, angka, kata , bahasa, penampilan, makanan dan lain-lain. Dalam bidang kesehatan masyarakat, prinsip komunikasi sebagai proses simbolik dapat diterapkan pada saat penyuluhan. Penyuluhan hendaknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat yang sedang diberi penyuluhan. Selain itu, proses simbolik yang lain contohnya adalah dandanan. Pada saat memberi penyuluhan tentang kesehatan, sebaiknya dandanan  jangan terlalu mencolok (mewah), namun jangan juga terlalu biasa saja. Pakaian yang terlalu mewah mendatangkan kesan sombong bagi masyarakat sehingga mempengaruhi keefektifan penyampaian materi pada saat penyuluhan. Sedangkan pakaian yang terlalu biasa menimbulkan persamaan antara orang yang memberi penyuluhan dan orang yang diberi penyuluhan. Sehingga mungkin orang yang diberi penyuluhan akan menganggap enteng materi penyuluhan tersebut. Dengan demikian penampilan harus disesuaikan dengan keadaan. Karena penampilan merupakan suatu simbol, dimana orang atau masyarakat akan memberikan arti terhadap penampilan seseorang.
Prinsip yang kedua menyatakan bahwa setiap perilaku memiliki potensi komunikasi. Dalam bidang kesehatan masyarakat, seorang SKM harus paham dengan apa yang dilakukan masyarakat, karena mereka memiliki body language. Misalnya, disaat menyampaikan informasi kesehatan, seorang SKM harus dapat melihat respon mereka. Apakah mereka senyum, atau diam saja, atau malah menunjukkan muka yang kurang sedap. Dengan demikian dapat diketahui tindakan apa yang dapat dilakukan. Misalnya jika respon audience hanya diam saja atau menunjukkan respon yang kurang baik seperti menggerutu, bicara sendiri atau memandang dengan tatapan sinis, mungkin cara penyampaian informasi harus diubah. Menjadi lebih menarik dan menyenangkan sehingga penyampaian informasi menjadi lebih efektif.
Prinsip yang selanjutnya menyatakan bahwa komunikasi memiliki dimensi isi dan hubungan. Hal ini berhubungan dengan bagaimana cara menyampaikan suatu pesan. Ada kalanya satu pesan artinya sama, namun karena cara menyampaikannya berbeda, pesan tersebut dimaknakan berbeda pula. Contohnya dalam bidang kesehatan masyarakat adalah proses penyampaian informasi kesehatan kepada anak kecil dan orang dewasa. Seorang SKM harus dapat membedakan pesan kepada anak kecil dan orang dewasa. Misalnya, “adek, jangan buang sampah sembarangan”, akan berbeda artinya dengan, “bapak, jangan buang sampah sembarangan”. Anak kecil akan menanggapi perkataan itu mungkin dengan biasa saja dan mengikuti perintah tersebut yaitu tidak membuang sampah sembarangan. Namun, orang dewasa atau bapak-bapak akan menanggapi pesan itu mungkin dengan perasaan negatif. Mungkin merasa dirinya dianggap kurang disiplin dan dianggap seperti anak kecil. Sehingga si penyampai informasi tersebut atau SKM akan dianggap kurang sopan. Dengan demikian, seorang SKM harus memperhatikan cara penyampaian pesan. Jangan sampai menimbulkan salah persepsi pada masyarakat.
Komunikasi juga berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan. Hal ini juga termasuk dalam prinsip komunikasi. Kadang seseorang bermaksud untuk tidak melakukan komunikasi, namun orang lain menganggapnya melakukan komunikasi. Inilah yang dimaksud komunikasi yang tidak disengaja. Sedangkan komunikasi yang disengaja, merupakan komunikasi yang real, dimana adanya timbal balik yang jelas antara komunikator dan komunikan. Prinsip ini juga penting dalam bidang kesehatan masyarakat. Misalnya, seorang petugas kesehatan sebelum makan selalu mencuci tangan. Dan hal tersebut diamati oleh seorang masyarakat yang kebetulan memang memiliki hubungan yang dekat. Pada awalnya, kegiatan mencuci tangan ini merupakan bentuk rutinitas yang memang sudah biasa dilakukan sang petugas kesehatan. Namun tanpa sengaja, masyarakat yang mengamatinya menjadi terpengaruh untuk meniru kegiatan tersebut. Dengan demikian, hendaknya kesengajaan ini terjadi dalam hal-hal positif yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.
Prinsip selanjutnya adalah komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu. Suatu pesan yang artinya sama, namun disampaikan dalam ruang dan waktu yang berbeda, menimbulkan makna yang berbeda pada pesan tersebut. Seorang SKM misalnya dalam memberi penyuluhan kesehatan harus tahu ruang dan waktu yang tepat  dalam penyampaiannya. Misalnya tidak melakukan penyuluhan di malam hari, karena itu dapat menimbulkan persepsi tidak baik dari masyarakat seperti tidak tahu aturan dan mengganggu tidur orang. Padahal maksudnya baik, yaitu untuk memberi informasi kesehatan.
Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi. Pada saat berkomunikasi dengan seseorang, peserta komunikasi yaitu komunikator dan komunikan pasti akan mempunyai prediksi tentang tanggapan lawan komunikasinya saat dia mengatakan sesuatu. Dengan demikian, sebagai seorang SKM dalam melakukan penyuluhan, tentunya sudah mempunyai prediksi tentang bagaimana respon masyarakat terhadap informasi yang disampaikan. Seorang SKM harus menyiapkan antisipasi respon buruk terhadap informasi kesehatan yang kurang berkenan bagi masyarakat. Misalnya, dalam penyuluhan gizi, petugas kesehatan menjelaskan tentang porsi makanan yang bergizi. Namun, tidak semua masyarakat atau warga dapat membeli makanan bergizi seperti yang dicontohkan. Petugas kesehatan harus sudah mengantisipasi keluhan dari masyarakat, misalnya dengan menerangkan bahwa makanan yang bergizi tidak harus selalu mahal.
Komunikasi bersifat sistemik. Komunikasi merupakan gabungan dari sistem internal dan sistem eksternal dalam diri kita. Sistem internal meliputi pengalaman dan rujukan. Kesamaan pengalaman dan rujukan membangun komunikasi antar individu. Sebagai seorang SKM, dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat, harus membangun kesamaan pengalaman dan rujukan antar dirinya dengan masyarakat. Dengan adanya kesamaan ini, masyarakat akan merasa lebih nyaman berkomunikasi dan informasi kesehatan dapat lebih mudah disampaikan. Sedangkan sistem eksternal adalah environtment atau lingkungannya. Seorang SKM dalam menjalankan tugasnya harus bisa menyesuaikan cara penyampaian informasi kesehatan dengan keadaan di masyarakat. Misalnya, penyuluhan dipedesaan dilakukan dengan suasana hikmat tanpa terlalu banyak pengeras suara. Karena kondisi di pedesaan yang memang sudah sepi.
Semakin mirip latar belakang sosial budaya, komunikasi menjadi lebih efektif. Status sosial dan budaya yang ada di masyarakat sangat mempengaruhi komunikasi yang terjadi pada masyarakat tersebut. Contohnya adalah status sosial. Seseorang akan lebih mudah berhubungan atau menjalin interaksi dengan orang yang status sosialnya sam karena mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan yang sama. Begitu pula dengan budayanya. Seseorang akan merasa nyaman melakukan interaksi dengan orang yang memiliki budaya yang sama dengannya. Seorang SKM harus menyadari bahwa dunia ini terdiri dari berbagai sistem sosial dan budaya yang berbeda satu sama lain. Seorang SKM harus dapat menempatkan diri dalam suatu status sosial dan budaya. Misalnya dalam proses penyampaian informasi kepada masyarakat dengan status sosial dan budaya A, jangan disampaikan dengan menggunakan budaya B atau dalam lingkup status sosial B. Meskipun budaya mereka berbeda, hendaknya seorang SKM dapat menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Sehingga informasi kesehatan menjadi mudah disampaikan.
Komunikasi bersifat nonsekuensial. Komunikasi berlangsung dua arah. Artinya, dalam berkomunikasi komunikator dapat menjadi komunikan dan komunikan dapat menjadi komunikator. Sebagai seorang SKM, hendaknya jangan hanya menjadi komunikator. Namun juga harus dapat mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat. Sehingga berperan sebagai komunikan. Dengan menjadi pendengar yang baik bagi masyarakat, dapat mengerti masalah mendasar yang terjadi di masyarakat. Dan dapat ditentukan solusi untuk menanganinya.
Komunikasi bersifat prosesual, dinamis dan transaksional. Komunikasi merupakan suatu proses, dimana proses ini tidak disadari kapan awal dan kapan akhirnya. Komunikasi bersifat dinamis, artinya komunikasi tidaklah konstan. Tapi melalui tahapan-tahapan dan perubahan. Komunikasi bersifat transaksional, artinya komunikasi terjadi timbal balik antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, sebagai seorang SKM, kita tahu bahwa proses komunikasi tidak hanya terjadi pada saat penyuluhan saja. Tetapi, akan terus membekas di hati masyarakat. Sehingga, proses penyampaian informasi harus dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh. Agar masyarakat dapat benar-benar mengerti maksud dari materi yang disampaikan dan menerapkan dalam kehidupannya.
Komunikasi bersifat irreversible yang artinya tidak dapat kembali. Maksudnya, apa yang telah diucapkan tidak akan bisa ditarik lagi dan dianggap ucapan itu tidak ada. Mungkin memang kadang terjadi seseorang menarik kembali ucapannya. Namun, ucapan itu tetaplah pernah diucapkan dan tidak dapat lenyap begitu saja. Sehingga sebagai seorang SKM, dalam menyampaikan informasi kesehatan kepada masyarakat harus selalu berhati-hati. Jangan sampai informasi-informasi tersebut disampaikan dengan cara yang kurang sopan atau mungkin menyakiti hati audience. Sekali hati seseorang terluka, akan sulit untuk mengobatinya. Dengan demikian untuk mencapai sebuah komunikasi yang efektif, prinsip yang satu ini juga harus diperhatikan.
Komunikasi bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah, khususnya masalah kesehatan. Komunikasi bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Memang komunikasi penting dalam menyelesaikan masalah. Namun komunikasi saja tidak cukup. Perlu adanya tindakan untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, dalam menanggulangi penyakit DBD di masyarakat, tidak cukup hanya memberikan penyuluhan di puskesmas. Tapi juga harus dilakukan tindakan seperti melakukan kegiatan 3M secara masal dengan pengawasan dari petugas kesehatan. 
Sebagai contoh sering terjadi pada institusi pelayanan kesehatan, misalnya pasien sering komplain karena tenaga kesehatan tidak mengerti maksud pesan yang disampaikan pasien, sehingga pasien tersebut menjadi marah dan tidak datang lagi mengunjungi pelayanan kesehatan tersebut. Atau contoh lain adalah selisih faham atau pendapat antara tenaga kesalahan karena salah mempersepsikan informasi yang diterima yang berakibat terjadinya konflik antara tenaga kesehatan tersebut.
Jika kesalahan penerimaan pesan terus menerus berlanjut dapat berakibat pada ketidakpuasan baik dari pasien maupun tenaga kesehatan. Kondisi ketidak puasan tersebut akan berdampak pada rendahnya mutu pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan, dan larinya pasien kepada institusi pelayanan kesehatan lainnya yang dapat memberikan kepuasan
.Untuk menghindari rendahnya mutu pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan (perawat) dan hilangnya pasien atau pelanggan ke tempat lain maka alangkah sangat bijaksana dan tepat, jika suatu institusi pelayanan kesehatan dapat meningkatkan kualitas pelayanannya. Salah satu bentuknya adalah dengan meningkatkan kemampuan komunikasi yang baik dan tepat bagi perawat.
4.5. Komunikasi Kesehatan dalam Bidang Kesehatan
Komunikasi Kesehatan menjadi semakin populer dalam upaya promosi kesehatan selama 20 tahun terakhir. Contoh, komunikasi kesehatan memegang peranan utama atau pengontribusi dalam pemenuhan 219 dari 300 tujuan khusus dalam Healthy People 2010. Apabila digunakan secara tepat, komunikasi kesehatan dapat mempengaruhi sikap, persepsi, kesadaran, pengetahuan dan norma sosial yang kesemuanya berperan sebagai precursor dalam perubahan prilaku. Komunikasi kesehatan sangat efektif dalam  mempengaruhi perilaku karena didasarkan pada psikologi sosial, pendidikan  kesehatan, komunikasi massa, dan pemasaran untuk mengembangkan dan menyampaikan promosi kesehatan  dan pesan pencegahan – pencegahan.
Karya awal yang mempengaruhi perkembangan  komunikasi kesehatan di susun oleh National Cancer Institute (NCI) dan diberi judul Making Health Communication Programs Work: A Planner’s Guide. Panduan ini menyatakan bahwa bidang ilmu seperti pendidikan kesehatan, pemasaran sosial, dan komunikasi massa secara bersama mendefinisikan komunikai kesehatan. Bukan hal luar biasa apabila mendengar pernyataan bahwa komunikasi kesehatan bahkan merupakan nama yang lebih baik untuk profesi daripada promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan karena segala sesuatu yang dilakukan dalam promosi kesehatan melibatkan komunikasi untuk kesehatan. Kenyataannya, komunikasi kesehatan telah didefinisikan secara luas oleh Everett Rogers, seorang pelopor dalam bidang komunikasi, sebagai segala jenis komunikasi manusia yang berhubungan dengan kesehatan.
Komunikasi kesehatan juga dapat mencerminkan bagaimana persoalan kesehatan diterima oleh audiens tertentu. Contoh, NCI mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai seni dan teknik menyampaikan informasi, mempengaruhi, dan memotivasi individu, institusi, dan publik tentang pentingnya persoalan kesehatan. The Centers of Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan komunikasi kesehatan sebagai suatu ilmu dan sebagai penggunaan strategi komunikasi untuk menyampaikan informasi dan mempengaruhi keputusan individu dan masyarakat yang dapat meningkatkan kesehatan. Walau begitu, masih ada orang yang membicarakan konsep tersebut dengan menekankan berbagai bentuk aplikasinya , termasuk advokasi media, komunikasi resiko, pendidikan, hiburan, materi cetak, dan komunikasi interaktif.
Ada dua perspektif utama yang diambil ketika mempertimbangkan komunikasi kesehatan dalam praktik promosi kesehatan saat ini. Beberapa praktisi memandang komunikasi massa sebagai proses menyeluruh yang membingkai penerapan intervensi promosi kesehatan. Praktisi ini memandang komunikasi kesehatan sebagai strategi atau aktifitas sempit seperti publikasi informasi atau sejenis komunikasi. Antar personal yang mungkin berlangsung antara pendidik kesehatan dan kliennya. Kedua pemikiran itu menyebabkan komunikasi kesehatan rentan terhadap penafsiran yang luas dan kesalahpahaman.
Jadi, komunikasi kesehatan diperlukan di bidang kesehatan karena komunikasi dalam kesehatan merupakan kunci pencapaian peningkatan taraf atau tingkat kesehatan masyarakat. Sejauh ini komunikasi senantiasa berkembang seiring berkembangnya dunia teknologi komunikasi. Komunikasi yang dulunya biasa dilakukan dengan penyuluhan yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat dan dilakukan dengan media audio/radio sekarang lebih popular dengan penyampaian pesan atau informasi kesehatan melalui media internet maupun media cetak dan elektronik. Tidak hanya bernilai praktis namun mempunyai nilai ekonomis dan tampilannya lebih menarik. Media yang berkembang tersebut sangat membantu dalam ketercapaian komunikasi kesehatan karena tercapai atau tidaknya komunikasi kesehatan lebih dikarenakan penggunaan media informasi yang tepat, pesan yang sistematis dan mudah dimengerti
 Dampak komunikasi kesehatan dalam pembangunan kesehatan yaitu sebagai berikut :
1)    Komunikasi kesehatan merujuk pada bidang – bidang seperti program – program kesehatan nasional dan dunia, promosi kesehatan, dan rencana kesehatan publik sehingga secara tidak langsung komunikasi kesehatan ini berperan dalam proses pembangunan kesehatan.
2)    Komunikasi kesehatan mampu menumbuhkan aspirasi masyarakat dari segala bidang kehidupannya sehingga hal ini dapat memperlancar proses pembangunan kesehatan.
3)    Komunikasi kesehatan beroperasi pada level atau konteks komunikasi antar personal, kelompok, organisasi, publik, dan komunikasi massa sehingga proses pembangunan kesehatan dapat dijalankan secara merata.
4)    Komunikasi kesehatan mencakup variasi interaksi dalam kerja kesehatan misalnya komunikasi dengan pasien di klinik, self help groups, mallings, hotlines, dan kampanye media massa, dimana hal ini akan lebih mudah dalam menyusun rencana pembangunan kesehatan yang lebih baik sesuai dengan permasalahan kesehatan yang dialami oleh suatu masyarakat.
5)    Komunikasi kesehatan merupakan pendekatan yang menekankan usaha mengubah perilaku audiens agar mereka tanggap terhadap masalah tertentu dalam satuan waktu tertentu yang nantinya hal ini dapat berpengaruh pada proses pembangunan kesehatan.
6)    Komunikasi kesehatan merupakan pemanfaatan media dan teknologi komunikasi dan teknologi informasi dalam penyebarluasan informasi kesehatan sehingga dapat memudahkan rencana pembangunan kesehatan.


BAB IV
PENUTUP

5.1 Simpulan
a.       Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa, bahkan melalui komunikasi dapat mengembangkan pengetahuannya yakni belajar dari pengalamannya maupun melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya.
b.      Kebudayaan memberikan solusi bagi individu ketika menghadapi situasi yang sederhana sampai pada situasi yang sulit khususnya bagaimana individu menyikapi persoalan kesehatan yang terjadi.
c.       Jaringan komunikasi merupakan faktor dalam situasi yang dapat bervariasi secara independen dari tugas atau gaya kepemimpinan dalam kelompok, meskipun biasanya erat keterkaitannya
d.      Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) merupakan ujung tombak dari peranan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat luas. Dengan kata lain  Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.
e.       Seorang SKM memiliki tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut adalah dengan melakukan interaksi langsung dengan masyarakat. Dalam interaksi ini terjadi proses komunikasi. Suatu interaksi sosial yang baik harus menggunakan komunikasi yang efektif. Untuk dapat memperoleh komunikasi yang efektif seorang SKM harus dapat memahami prinsip komunikasi yang ada.
f.       Komunikasi kesehatan merupakan pendekatan yang menekankan usaha mengubah perilaku audiens agar mereka tanggap terhadap masalah tertentu dalam satuan waktu tertentu yang nantinya hal ini dapat berpengaruh pada proses pembangunan kesehatan.


5.2 Saran
(a)  Bagi Masyarakat
1.    Masyrakat dapat mengikuti setiap penyuluhan kesehatan yang disampaikan oleh tenaga profesi yang ada.
2.    Masyrakat dapat mengikuti alur komunikasi yang baik pada saat pelaporan di tingkat puskesmas
3.    Masyrakat dapat selektif memilih petugas kesehatan berdasarkan profesi yang dimiliki oleh setiap petugas
4.    Masyrakat dapat bersama-sama petugas kesehatan menyebarluaskan informasi ttg kesehatan kepada orang lain.
(b)  Bagi Instansi Terkait
1.    Komunikasi merupakan alat terpenting dalam berorganisasi, Karena tanpa adanya komunikasi, organisasi tidak akan berjalan dengan maksimal. Jadi disarankan dalam sebuah organisasi harus dibarengi dengan komunikasi yang baik agar tercapai sebuah organisasi yang baik
2.    Melaksanakan kegiatan penyuluhan mengenai fungsi dan peran petugas kesehatan sesuai dengan tuntutan profesi sehingga masyrakat dapat mengetahui fungsi dan peran provesi kesehatan masing-masing petugas kesmas
3.    Petugas kesehatan harus bisa menerapkan sistem komunikasi sosial non formal agar masyrakat dapat mengerti dan memahami maksud dan tujuan informasi kesehatan tersebut
Kebudayaan dan Etika Khususnya bagi masyrakat
a.    Masyrakat dapat mempertahankan kebudayaan dan etika yang ada karena kebudayaan dan etika dapat memampukan kita untuk membuat keputusan lebih mudah terhadap setiap masalah yang kita hadapi.
b.    Masyrakat dapat membuka wawasan tentang kebudayaan komunikasi dengan cara memberikan visi baru bagi individu, kebudayaan telah memberikan visi baru bagi individu untuk bekerjasama antar personal.
c.    Memahami dan mempelajari budaya dan etika karena dengan cara demikian seseorang dapat membuat hubungan sosial antara personal menjadi utuh antara individu.        

                
DAFTAR PUSTAKA
Aloliliweri.2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Nusa Media, Bandung.
Azwar. A. 1989. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya,  Jakarta.
Azwar, Arul. 1980. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: PT Grafiti Medika Pers
Depkes RI. 1984. Pedoman Stratifikasi Puskesmas.1984
Elaine P. Kongres, DSW.2001. Masalah Budaya dan Etika di Workingwith CulturallyDiverse Pasien. Firlandia
Muninjaya, A.A Gde. 1999. Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

-------------------------------. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

-------------------------------. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Saleh, Maya Syahria. 2007. ”Puskesmas Sebagai Agen Pemberdayaan Masyarakat” dalam www.pusdakota.org yang diakses tanggal 24 Desember 2008, pukul 20.00 WIB.
Sasongko, Adi. 2000. dalam Materi Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat