HUBUNGAN PERILAKU PANTANG MAKAN DAN POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS ALAK KOTA KUPANG TAHUN 2021
Marhelti Battu1 Nomensen L. Banunaek2 Mariance Emawati Lepa 3
E-mail: marheltybattu@gmail.com, nomensenbanunaek@gmail.com , atytity@yahonn.com
ABSTRAK
Stunting
merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama. WHO mengklasifikasikan stunting pada indeks panjang
badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U)
dengan batas (z-score) kurang dari 2 SD. Penelitian ini betujuan untuk mengetahui Hubungan Perilaku Pantang Makan dan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian
Stunting Pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang.
Jenis penelitian ini adalah analitik
dengan pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah 77 orang menggunakan teknik sampling rondom sampling. Analisis bivariat
menunjukan ada hubungan
yang signifikan dengan kejadian stunting yaitu perilaku pantang
makan (p=0,003), pola asuh ibu (p=0,016). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara perilaku pantang makan dan pola asuh orang tua dengan kejadian stunting di wilayah kerja puskesmas Alak Kota Kupang tahun 2021.
Kata Kunci: Perilaku
Pantang Makan, Pola Asuh
Ibu, Stunting, Balita.
PENDAHULUAN
1.
Pendahuluan
Pantang makan atau tabu makanan adalah makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh seseorang pada keadaan tertentu karna dapat menimbulkan suatu efek yang dianggap merugikan bagi pengonsumsinya. Suatu makanan dianggap tabu karna disebabkan berlakunya aturan-aturan sosial tidak tertulis yang mengatur tentang konsumsi makanan berdasarkan lasan agama maupun sejarah (Ekwochi et al, 2016). Menabukan makanan atau dengan kata lain larangan mengonsumsi suatu makanan adalah bentuk penghindaran pada makanan yang disengaja untuk alasan lain selain ketidaksukaan biasa pada makanan (Meyer Rochow, 2009).
Pola asuh merupakan interaksi orang tua dan anak yang didalamnya orang tua mengekspresikan sikap- sikap atau perilaku. Nilai-nilai, minat, dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Kurangnya perhatian orang tua terhadap gizi yang diperlukan oleh anak dapat mengakibatkan terjadinya masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Masalah tersebut merupakan salah satu ancaman serius terhadap pembangunan kesehatan, khususnya pada generasi mendatang yang biasanya disebut dengan istilah stunting (Kemenkes RI, 2018).
Stunting atau disebut dengan “pendek” merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama. Stunting sebagai akibat dari pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Proses stunting dimulai dari janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia 2 tahun. WHO (Word Health Organization) Child Growth Standart mengklasifikasikan stunting pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari 2 SD (standar deviasi).
Menurut data WHO tahun 2016, diperkiraan 22,9% atau terdapat 158 juta anak dibawah lima tahun mengalami stunting dan 56% nya berada di Asia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi balita stunting di Indonesia adalah 30,8%. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013 yang mana prevalensi balita stunting di Indonesia 37,2%. Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevelensinya 20% atau lebih. Karnanya presentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%) (UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukan Indonesia termasuk dalam 17 negara dari 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita. (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Menurut laporan kementerian keuangan bekerja sama dengan tim nasional penanggulangan kemiskinan 2018, tingkat „kecerdasan‟ anak Indonesia berada diurutan 64 terendah dari 65 negara. Sedangkan, stunting berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan ketimpangan (Kementerian Keuangan, 2018). Laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) secara Nasional di Indonesia dari tahun 2007 ke tahun 2013 justru menunjukan fakta yang memprihatinkan dimana stunting meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%. Sedangkan secara Nasional pada tahun 2010 ke tahun 2013 juga menalami peningkatan yang berarti yaitu dari 35,6% menjadi 37,2%. Artinya pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8 juta anak atau satu dari tiga anak Indonesia. Menurut WHO angka prevalensi tersebut masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan batas (cut off) Non Public Health Problem (Jayanti, 2015). Sementara batas Non Public Health Problem yang ditolerir oleh Badan Kesehatan Dunia untuk kejadian stunting hanya 20% atau seperlima dari jumlah total balita di suatu negara.
Berdasarkan hasil Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 prevalensi stunting balita usia di bawah lima tahun Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 40,3% angka tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan provinsi lainya dan juga diatas prevalensi stunting nasional sebesar 29,6%. Prevalensi stunting di NTT tersebut terdiri dari bayi dengan kategori sangat pendek 18% dan pendek 22,3%. Menurut Profil Kesehatan Kupang 2018 angka stunting tertinggi di Alak, jumlah balita 0-59 bulan yang diukur tinggi badan sebanyak 2.096 orang, yang mengalami stunting berjumlah 841 orang atau 40,1%.
Pengambilan data awal di puskesmas Alak Kota Kupang tahun 2018 jumlah balita stunting sebanyak 745 orang atau 43,0%, dan pada tahun 2019 mengalami penurunan yaitu 499 orang atau 22,5%, sedangkan pada tahun 2020 jumlah balita stunting sebanyak 338 orang atau 16,3%. Berdasarkan permasalahan diatas maka Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Perilaku Pantang Makan dan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang Tahun 2021”.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional untuk melihat Hubungan Perilaku Pantang Makan dan Pola Asuh Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang Tahun 2021.
a. Lokasi dan waktu penelitian:
Penelitian ini dilakukan di puskesmas Alak Kota Kupang pada bulan April.
b. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang mengalami stunting dipuskesmas Alak Kota Kupang tahun 2021 yang berjumlah 338 orang. Sedangkan sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan rumus slovin dengan total sampel 77 orang.
3. Hasil Dan Pembahasan
a.
Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi frekuensi responden menurut kelompok umur
Jenis kelamin |
N |
% |
Laki-laki |
45 |
58,4 |
Perempuan |
32 |
41,6 |
Jumlah |
77 |
100 |
Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur anak
Umur |
N |
% |
0-12 Bulan |
17 |
22,1 |
13-24 Bulan |
17 |
22,1 |
25-36 Bulan |
28 |
36,4 |
37-48 Bulan |
12 |
15,6 |
49-69 Bulan |
3 |
3,9 |
Jumlah |
77 |
100 |
Tabel 3. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan kejadian
stunting
Kejadian Stunting |
N |
% |
Stunting |
46 |
59,7 |
Tidak Stunting |
31 |
40,3 |
Jumlah |
77 |
100 |
Tabel 4. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan perilaku pantang makan
Pantang Makan |
N |
% |
Ada Pantang Makan |
51 |
66,2 |
Tidak ada pantang makan |
26 |
33,8 |
Jumlah |
77 |
100 |
Tabel 5. Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan pola asuh Ibu
Pola Asuh |
N |
% |
Otoriter |
45 |
58,4 |
Demokratis |
17 |
22,1 |
Permisif |
15 |
19,5 |
Jumlah |
77 |
100 |
a. Analisis bivariat
1.
Hubungan perilaku
pantang makan dengan
kejadian stunting
Perilaku Pantang Makan |
Kejadian Stunting |
Jumlah |
p Value |
||||
Stunting |
Tidak Stunting |
|
|
||||
|
N |
% |
N |
% |
N |
% |
|
Ada Pantang Makan |
37 |
48,1 |
14 |
18,2 |
51 |
66,2 |
|
Tidak Ada Pantang Makan |
9 |
11,7 |
17 |
22,1 |
26 |
33,8 |
0,003 |
Jumlah |
46 |
59,7 |
31 |
40,3 |
77 |
100 |
|
Hasil analisis chi-square yang dilakukan antara perilaku pantang makan terhadap kejadian stunting menunjukan nilai signifikan sebesar 0,003 (p<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pantang makan dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang tahun 2021.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa anak yang stunting dengan ada pantang makan ibu selama kehamilan sebanyak 37 orang anak (48,1%), sedangkan tidak ada pantang makan ibu selama kehamilan sebanyak 9 orang anak (11,7%). Anak yang tidak stunting dengan ada pantang makan ibu selama kehamilan sebanyak 14 orang anak (18,2%), sedangkan tidak ada pantang makan ibu selama kehamilan sebanyak 17 orang anak (22,1%).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Siti Fatimatus Zahroh, 2017) dengan menggunakan uji Rank Spearman didapatkan nilai probability (p) lebih kecil dari alpha (0,002 <0,05) sehingga Ho ditolak artinya ada hubungan budaya pantang makanan dengan kejadian stunting balita usia 24-29 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bangkalan, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan. Penelitian Bibi Ahmad Cahyanto, dkk 2018 tentang tabu makanan dalam kalangan ibu hamil masih banyak diyakini bahkan dipraktikan oleh masyarakat di Indonesia. Makanan yang banyak ditabukan oleh ibu hamil adalah cumi-cumi dan ikan lele. Jenis makanan tersebut karna dihindari karna dapat menyulitkan persalinan. Sedangkan ditinjau dari aspek gizi, lauk pauk hewani sangat dianjurkan bagi ibu hamil karna terjadi peningkatan kebutuhan asupan protein untuk pertumbuhan janin dan kesehatan ibu.
Ketika kebutuhan gizi ibu tidak terpenuhi maka kekurangan energi protein (KEK) bisa saja terjadi, dan bila berlanjut maka bisa saja ibu hamil mengalami kekurangan energi kronik (KEK) yaitu keadaan ibu menderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan. KEK pada ibu hamil berdampak terhadap ibu dan bayi yang akan dilahirkan, seprti pertumbuhan janin yang kurang dan meningkatnya resiko kematian neonatal, meningkatnya resiko terjadinya stunting, dan berat badan lahir rendah atau BBRL. (Oktriyani dkk, 2014). Pada prinsipnya, makanan pantangan ibu membuat berbagai macam kebutuhan gizi ibu dan bayi tidak terpenuhi.Sehingga kemungkinan anak menjadi pendek atau stunting lebih besar.
2.
Hubungan pola asuh Ibu dengan kejadian
stunting
Tabel 7. Hubungan
pola asuh Ibu dengan kejadian stunting
Pola Asuh |
Kejadian Stunting |
Jumlah |
p Value |
||||
|
Stunting |
Tidak stunting |
|
|
|||
|
n |
% |
N |
% |
N |
% |
|
Otoriter |
33 |
42,9 |
12 |
15,6 |
45 |
58,4 |
|
Demokratis |
7 |
9,1 |
10 |
13,0 |
17 |
22,1 |
0,016 |
Permisif |
6 |
7,8 |
9 |
11,7 |
15 |
19,5 |
|
Jumlah |
46 |
59,7 |
31 |
40,3 |
77 |
100 |
|
Hasil analisis chi-square yang dilakukan antara pola asuh ibu terhadap kejadian stunting menunjukan nilai signifikan sebesar 0,016 (p<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang tahun 2021.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa anak yang stunting dengan pola asuh otoriter sebanyak 33 orang anak (42,9%), sedangkan pola asuh demokratis sebanyak 7 orang anak (9,1%), dan pola asuh permisif sebanyak 6 orang anak (7,8). Anak yang tidak stunting dengan pola asuh otoriter sebanyak 12 orang anak (15,6%), sedangkan pola asuh demokratis sebanyak 10 orang anak (13,0%), dan pola asuh permisif sebanyak 9 orang anak (11,7%).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suardianti, Ni Putu Sintha Devi, 2019) menggunakan uji chi- square dengan p-value 0,003 sehingga ada hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 24-
59 bulan di Desa Singakerta Kecamatan Ubud Gianyar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Corry Ocvita Sari, Dyah Noviawati S. Arum, Tri Maryani, 2018) didapatkan hasil p- value 0,0001 (<0.05), sehingga ada hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 25-59 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Sentolo di Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta.
Pola asuh merupakan kemampuan keluarga terutama ibu atau pengasuh untuk memberikan waktu, perhatian, dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial (Apriyanto, D., Subagio, H. W. and Sawitri, D. R. (2016). Hal tersebut akan membuat tumbuh kembang anak menjadi baik. Pertumbuhan secara fisik, mental dan sosial anak akan mengikuti berdasarkan pola asuh yang baik. Pola asuh dapat dilakukan melalui perilaku ibu ke anak, kedekatan ibu dan anak, pemberian makanan, merawat dan menjaga kebersihan anak (Susanti, Rika; Ganis, I. U, 2014). Pola asuh dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu pola asuh otoriter, yang merupakan pola asuh dimana orang tua lebih banyak memberikan banyak aturan yang sangat ketat dan mengharapkan anaknya agar mematuhi peraturan yang diberikannya, begitu juga untuk aturan makan. Pola asuh orang tua otoriter ini jarang memberikan penjelasan kepada anak mereka dalam mematuhi peraturan yang telah diberikan (Anisah, 2011). Selain itu, pada pola asuh ini, orang tua lebih memberikan hukuman dan taktik yang kuat, seperti kekuasaan sehingga anak menjadi patuh terhadap orang tua. Pada pola asuh ini, orang tua sensitif terhadap hal yang bertentangan dengan keinginan mereka sehingga jika anak tidak mematuhi aturan akan diberikan hukuman. Hal ini diberlakukan pada saat anak akan melakukan aktivitas makan (Masyudi, et al., 2019).
Pola asuh demokratis, orang tua tetap membuat tuntutan atau permintaan untuk anak mereka. Tetapi orang tua pada pola asuh ini lebih bersifat waspada, seperti memberikan alasan kepada anak dalam mematuhi aturan yang diberikannya pada saat makan, dan memastikan bahwa anak mereka dapat mengikuti aturan makan tersebut. Selain itu, orang tua lebih menerima dan responsif dibandingkan pada pola asuh otoriter (Masita, et al., 2018). Pola asuh permisif, merupakan jenis pola asuh yang memberikan sedikit tuntutan dan mengizinkan anak-anak mereka untuk bebas mengekpresikan perasaan mereka saat makan. Selain itu, orang tua dengan pola pengasuhan seperti ini tidak memantau kegiatan anak- anak mereka dan jarang melakukan kontrol yang kuat terhadap perilaku anak mereka. Orang tua ini juga jarang mendisiplinkan anak-anak mereka serta antara orang tua dan anak kurang adanya komunikasi (Adawiah, 2017). Setiap orang tua pasti memiliki cara tersendiri untuk membesarkan anaknya, termasuk cara pola asuh saat balita. Namun, terkadang ada orang tua yang tidak menyadari pola asuh seperti apa yang sebenarnya diterapkan, padahal pola asuh merupakan bagian terpenting dalam pembentukan tingkah laku dan kecerdasan anak.
4. KESIMPULAN
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pantang makan dengan nilai p= 0,003 dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang Tahun 2021.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan nilai p= 0,016 dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang Tahun 2021.
5. Daftar Pustaka
Adawiah, R. 2017.„Pola Asuh Orang Tua dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak‟, Pendidikan Kewarganegaraan, 7, pp. 33–48.
Anisah. (2011). Pola Asuh Orang Tua Dan Implikasinya Terhadap Pembentukan 16 Jurnal Kesehatan, Karakter Anak. Jurnal Pendidikan Universitas Garut, 5(1), 70-
84.
Apriyanto, D., Subagio, H. W. and Sawitri, D. R. (2016) „Pola Asuh Dan Status Gizi Balita Di Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat‟, Gizi Pangan, 11(2), pp. 125–134.
Bahar H. 2010. Kondisi
Sosial Budaya Berpantang Makanan
dan Implikasinya pada Kejadian Anemia Ibu Hamil (Studi Kasus pada Masyarakat Pesisir Wilayah Kerja Puskesmas Abeli di Kota Kendari). Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Chandra Budiman. (2008). Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta: EGC
Corry Ocvita Sari, Dyah N.S, Arum,
T. M. (2018). Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 25-
59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Sentolo I Kabupaten Kulonprogo
Yogyakarta. Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
Ekwochi,U. C. D. I. Osuorah, I. K. Ndu, C. Ifediora, I. N. Asinobi, C. B. Eke. 2016. Foot taboos and myths in South Eastern Nigeria: The belief and practice of mothers in the region. Journal of ethnobiology and Ethnomedicine,12(7):1-6.
Hartiningtiyaswati S. 2010. Hubungan Perilaku Pantang Makan Dengan Lama Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas Di Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar. KTI Progam D IV Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kemenkes RI. 2018. „Cegah stunting dengan perbaikan pola makan, pola asuh dan sanitasi (2)‟, (2), pp. 10–11.
Masita, M., Biswan, M., & Puspita, E. (2018). Pola Asuh Ibu dan Status Gizi Balita. Quality : Jurnal Kesehatan, 12(2), 23–
32.
Masyudi, M., Mulyana, M., & Rafsanjani, T. M. (2019). Dampak pola asuh dan usia penyapihan terhadap status gizi balita indeks BB/U. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 4(2), 111.
Meyer-Rochow, V. B . 2009. Foot taboos; their origins and purposes. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 5(18): 1-10.
Notoatmodjo S. 2018. Metodeologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Profil Kesehatan Kota Kupang Tahun 2018. Disakses di www.dinaskeskotakupang.we b.id.
Siti Fatimatus, Zahroh (2020) hubungan budaya pantang makanan dengan kejadian stunting pada balita usia 24-
59 bulan (studi Diwilayah Kerja Puskesas Bangkalan, Kecamatan Bangkalan,Kabupaten Bangkalan). Undergraduate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar