HUBUNGAN KONSUMSI
FAST FOOD DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KEJADIAN OVERWEIGHT PADA REMAJA STUNTING
Abdul
Hasim1 Nomensen L. Banunaek2
Mariance Emawati Lepa2
1 mahasiswa Stikes Nusantara
Prodi Gizi, 2 Dosen Stikes Nusantara Prodi Gizi
E-mail: abdulhasim@gmail.com,nomensenbanunaek@gmail.com,atytity@yahonn.com
ABSTRAK
Anak stunting pada usia sekolah dapat
berisiko 3 kali menjadi remaja obesitas. Kejadian overweight pada anak stunting disebabkan karena adanya perubahan
pola makan dan aktivitas fisik. Konsumsi fastfood
lebih dari 2 kali seminggu dan aktivitas fisik yang rendah cenderung
meningkatkan kejadian overweight pada
remaja. Penelitian bertujuan Menganalisis
hubungan konsumsi fast food
dan aktivitas fisik dengan kejadian overweight
pada remaja stunting SMP.Penelitian
ini merupakan penelitian analitik observasi dengan desain crossectional. PengambilanSampel dilakukan dengan menggunakan
rumus Proporsi binomunal. Sampel penelitian terdiri dari 49 orang. Data
frekuensi makanan, asupan energi, lemak, natrium dan serat diperoleh melalui
formulir FFQ semi kuantitatif dan aktivitas fisik menggunakan kuesioner PAQ-A.
Data tinggi badan diukur menggunakan microtoise sedangkan berat badan
menggunakan timbangan digital.
Hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara Aktivitas
Fisik dengan kejadian overweight pada remaja stuntingsiswa Kelas
VII, VIII, IX SMPK Tunas Glorya Kupang dengan nilai (p < 0,05).
Kata
Kunci : fast food, Aktivitas fisik, Overweight,stunting.
PENDAHULUAN
Stunting didefinisikan sebagai indeks tinggi
badan menurut umur(TB/U) kurang dari minus dua standar deviasi(-2 SD) atau
dibawah rata-rata standar yang ada. Stunting
pada anak merupakan hasil jangka panjang konsumsi diet berkualitas rendah yang
di kombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, dan masalah lingkungan
(Semba et al., 2008). Kekurangan gizi kronis padaanak stunting disebabkan
oleh keterbatasan asupan energi dan zat gizi
selama di dalam kandungan, serta pengaruh dari penyakit infeksi.
Prevalensi anak stunting di seluruh dunia adalah 28,5% dan diseluruh
Negara berkembang sebesar 31,2%. Untuk benua Asia, prevalensi anak stunting
30,6%, di Asia
Tenggara sebesar 29,4%. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2013, angka kejadian stunting pada remaja SMP usia 12-15 tahun di Indonsia
tergolong tinggi. Secara Nasional, prevalensi stunting pada remaja adalah 35,1%
(13,8% sangat pendek dan 21,3% pendek). Berdasarkan jenis kelamin, prevlensi
pendek tertinggi pada anak laki-laki usia 13 tahun sebesar 40,2% dan anak
perempuan 34,1%. Prevalensi di Kota Semarang terdapat 5,9% sangat pendek serta
14,8% kategori pendek.
Bila
dibanding dengan batas “non public health problem’’ menurut WHO untuk masalah
kependekan sebesar 20%, maka semua provinsi di Indonesia masih dalam kondisi
bermasalah kesehatan masyarakat (Kemenkes,2010). Prevalensi stunting dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2010-2012) NTT
merupakan Provinsi dengan angka stunting
tertinggi di Indonesia yaitu 58,4% dari angka nasional 35,6%, dimana sebanyak
18,4% anak balita menderita gizi kurang, 36,8% anak pendek, dan 13,6% anak
kurus. Kabupaten Kupang kejadian stunting
masih sekitar 46,3% (Kemenkes, 2013).
Kejadian
obesitas pada anak stunting disebabkan karena adanya masa transisi gizi.
Transisi gizi merupakan perubahan gaya hidup yang ditandai dengan perubahan
pola makan dan asupan zat gizi, serta perubahan aktivitas fisik. Perubahan pola
makan dan asupan zat gizi,serta perubahan aktivitas fisik. Perubahan pola makan
di kota besar sudah bergeser dari pola makan yang tradisional menjadi pola
makan kebarat-baratan seperti fast food.
Makanan tersebut banyak mengandung kalori,lemak,kolesterol,sertanatrium. Jika
dikonsumsi dengan jangka panjang dapat memicu terjadinya obesitas.
Fast food merupakan
jenis makanan tinggi kalori dan lemak yang praktis, mudah dikemas dan
disajikan. Keberadaan restoran-restoran fast
food semakin menjamur di kota-kota besar di Indonesia, menyajkan berbagai fast
food yang dapat brupa traditional
fast food dan western fast food. Jenis
western fast food misalnya hamburger,French fries potato, fried chicken,pizza,sandwich dan soft drink, sedangkan traditional fast food misalnya nasi
goreng, bakso, mie ayam, soto dan sate ayam.Penelitian di United States
msnunjukkan bahwa 10,9% remaja mengkonsumsi western
dietary fast food lebih berisiko
mengalami overweight atau obesitas
dari pada makanan cepat saji yang diolah sendiri. Penelitian di Yogyakarta,
sebanyak 83% remaja mengkonsumsi fast
food lebih dari 3 kali seminggu. Frekuensi konsumsi fast food lebih dari 3 kali seminggu memiliki risiko 6 kali lipat
mengalami obesitas.(Sheva A.,)
Selain perubahan pola makan, aktivitas fisik yang rendah dapat memicu
terjadinya kelebihan berat badan.Selain itu, kebiasaan menonton televisi dan
bermain gadget dapat meningkatkan
kejadian overweight. Perubahan sosial ekonomi
yang semakin membaik di Negara berkembang juga membawa penurunan aktivitas
fisik dan dampak perkembangan terhadap transportasi umum sehingga seseorang
dapat mengalami penurunan pengeluaran energi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan konsumsi fast food dan aktivitas fisik dengan kejadian overweight pada remaja stunting SMP.
METODE
PENELITIAN:
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasi dengan desaincross sectionaluntuk melihat hubungan
konsumsi fast food dan aktivitas
fisik dengan kejadian overweight pada
remaja stunting SMP.
Lokasi dan waktu penelitian:
Penelitian ini
dilakukan di SMPK Tunas Glorya Kupang pada bulan Februari
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMPK Tunas Glorya
Kupang yang berjumlah 184 orang. Sedangkan sampel dari penelitian ini adalah
Siswa SMPK Tunas Glorya KUPANG yang memenuhi kriteria Inklusi dengan total samppel
49 orang.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi Frekuensi responden menurut kelompok
umur.
Kelompok Umur |
(n) |
(%) |
11-13 14-15 |
29 20 |
59,18 40,82 |
Total |
49 |
100 |
|
|
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kejadian
Overweight Pada Remaja Stunting.
Kriteria |
(n) |
(%) |
Kurus Normal Overweight |
20 14 15 |
40,8 28,6 30,6 |
Total |
49 |
100 |
Tabel 3. Distribusi Frekuensi
konsumsi Fast Food Pada
Remaja Stunting
Kriteria |
(n) |
(%) |
Sering Jarang |
34 15 |
69,4 30,6 |
Total |
49 |
100 |
Tabel 4. Distribusi
Frekuensi Aktivitas Fisik Pada Remaja Stunting
Kriteria |
(n) |
(%) |
Ringan Sedang Berat |
3 44 2 |
6,1 89,8 4,1 |
Total |
49 |
100 |
Analisa Bivariat
a. Hubungan
Konsumsi Fast Food dengan Kejadian Overweight pada remaja Stunting
Tabel 5.
Hubungan konsumsi Fast food dengan
kejadian overweightpada remaja Stunting
Fast food |
Kejadian Overweight |
|
P-Value |
Kurus NormalOverweight
|
|||
|
n% n% n
% |
||
|
|
||
Sering 13 65
9 64 12
80 0,563 Jarang 7 35
5 35,7 3
20 |
|||
Total
20 100 14
100 15 100 |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tidak ada
Hubungan yang signifikan antara konsumsi fast food
dengan kejadian overweight pada
remaja stuntingpada siswa
kelas VII, VIII, XI SMPK Tunas Glorya Kupang
dengan P Value (p
= 0,563, p > 0,05). Secara umum makanan cepat saji (fast food) mengandung tinggi kalori yang diperoleh dari satu porsi fast food dapat memenuhi setengah
kebutuhan kalori dalam sehari yang berkisar 400-600 kalori atau bahkan sampai
1500 kalori. Asupan kalori yang tinggi dengan frekuensi sering dapat
menyebabakan terjadinya obesitas.
Makanan fast food juga mengandung
lemak jenuh, Friedchicken yang
umumnya digoreng dengan kulit mengandung kolestrol cukup tinggi. Makanan yang
digoreng dalam minyak ditambah daging dan telur mengandung kolestrol yang
tinggi. Lemak dan kolestrol dibutuhkan oleh tubuh, tetapi jika dikonsumsi
berlebihan mengakibatkan terjadinya penyumbatan pembuluh darah.
Menu fast food juga banyak mengandung gula buatan yang tidak baik untuk
kesehatan. Gula buatan dapat menyebabkan penyakit gula atau Diabetes, kerusakan
gigi dan Obesitas. Minuman bersoda, cookies dan cake mengandung banyak gula serta
sangat sedikit vitamin dan mineralnya. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan
yang signifikan antara stunting
dengan risiko remaja obesitas.Stunting
sebagai prediktor terhadap remaja obesitas, dimana anak stunting usia sekolah
dapat berisiko 3 kali menjadi remaja obesitas. Anak stunting memiliki massa
lemak bebas yang lebih rendah, basal
metabolic rate (BMR) menurun, dan aktivitas fisik yang rendah sehingga
berisiko mengalami kelebihan deposit jaringan lemak. Hasil penelitian di Brazil
menyebutkan bahwa ada hubungan antara stunting dengan penumpukan lemak karena
adanya gangguan oksiasi lemak. Lemak yang tidak teroksidasi akan disimpan
sehingga cenderung menyebabkan peningkatan penumpukan lemak di jaringan
adipose. Hal yang sama dikemukakan penelitian di Afrika bahwa keadaan energy
yang rendah pada masa bayi berakibat pada perubahan metabolisme yang dapat
meningkatkan risiko overweight, jika
disertai dengan konsumsi tinggi kalori dan lemak. Perubahan metabolisme terjadi
karena penghematan energi serta upaya mempertahankan laju metabolisme, sehingga
menyebabkan anak stunting memiliki gangguan regulasi asupan makanan dan
kerentanan terhadap diet tinggi lemak.
Beberapa fast food
mengandung natrium yang tinggi. Konsumsi natrium yang berlebihan menjadi faktor
risiko munculnya penyakit hipertensi. Asupan natrium yang tinggi meningkatkan
sekresi hormon natriuretik. Hormon tersebut menghambat aktivitas sel pompa
natrium dan mempunyai efek penekanan pada sistem pengeluaran natrium. Hal ini
dapat terjadi peningkatan volume cairan ekstraseluler yang mengakibatkan
kenaikan tekanan darah.Umumnya fast food
sangat rendah serat atau tidak mengandung sayur. Sayur yang digunakan fast food terbatas pada selada dan kol
yang tidak banyak mengandung vitamin serta mineral. Asupan serat yang rendah
dapat mengakibatkan asam empedu lebih sedikit diekskresi feses, sehingga banyak
kolesterol yang diabsorbsi dari hasil empedu.
Frekuensi Fast Food
yang merupakan faktor risiko kejadian overweight
pada remaja stunting yaitu frekuensi konsumsi
wastern fast food.Mengkonsumsi
wastern fast food dengan waktu lebih
dari 2 kali per minggu memiliki risiko 8,7 kali mengalami kejadian overweight. frekuensi remaja yang sering
mengkonsumsi fast food dapat
meningkatkan timbunan energi dan lemak dalam tubuh yang menyebabkan peningkatan
nilai Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ika Amalina Bonita
, th 2016 yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara fast food dengan kejadian overweight(p
= 0,563, p > 0,05). (Badjeber F, Kapantouw,N.H,Punuh M).
b. Hubungan
Aktivitas Fisik dengan Kejadian Overweight
pada Remaja Stunting
Tabel 6.
HubunganAktivitas Fisik dengan kejadian
overweight pada remaja stunting
Aktivitas Fisik |
Kejadian Overweight |
P-Value |
KurusNormal
Overweight n % n % n % |
||
Ringan 0 0 0 0 3 20 Sedang 18 90 14
100 12 80 Berat 2 10 0 0 0 0 |
0,04 |
|
Total
20 100 14
100 15 100 |
Dari
49 orang tersebut Faktor aktivitas Fisik terhadap remaja stunting
sebagian besar berkategori ringan
yakni 3 orang atau
sebesar (6,1%)
berkategori sedang
yakni 44orang atau sebesar (89,8%)
dan berkategori berat
yakni 2 orang atau sebesar (4,1%).
Kejadian overweight
juga disebabkan oleh rendahnya pengeluaran energi melalui aktivitas fisik.
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa aktivitas
fisik merupakan faktor risiko kejadian overweight
pada remaja stunting (p = < 0,05).
Aktivitas merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh
dan sistem penunjangnya. Sebanyak 91,3% kelompok stuntingoverweight dan 69,6% kelompok stunting non overweight
lebih banyak melakukan aktivitas fisik
yang ringan. Anak stunting lebih
banyak menghabiskan waktu melakukan aktivitas
fisik yang mengeluarkan energi rendah. Hasil penelitian terdahulu di
kamerun menunjukkan bahwa anak stunting
memiliki pengeluaran energi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan
tinggi badan normal. Pengeluaran energi yang rendah merupakan bentuk adaptasi
tubuh untuk melakukan aktivitas yang ringan. Hasil penelitian lain di Kamerun
menunjukkan bahwa anak stunting baik dengan overweightmaupun
non overweight cenderung melakukan
aktivitas yang ringan. Jenis aktivitas ringan yang sering dilakukan oleh para
remaja adalah duduk, nonton tv, bermain gadget, dan berjalan kaki, sedangkan
aktivitas berat yang biasa dilakukan adalah sepak bola, bulu tangkis, dan
berenang. Remaja yang kurang melakukan aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan
tubuhnya kurang mengeluarkan energi. Jika ditambah dengan asupan energi dan
lemak yang berlebihan tanpa diimbangi aktivitas fisik yang seimbang maka remaja
stunting mudah mengalami kegemukan. (Heryudarini H,.)
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ika Amalina Bonita , th 2016 yang menunjukan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian overweight(p = 0,040 , p < 0,05).
KESIMPULAN
1.
Tidak
ada hubungan yang signifikanantara
konsumsi fast food dengan kejadian overweight
pada remaja stunting siswaSMPK Tunas
Glorya Kupang dengan nilai
P= 0,563.
2.
Ada
hubungan yang signifikan antara
Aktivitas Fisik dengan kejadian overweight pada remaja stuntingsiswa SMPK Tunas Glorya Kupang
dengan nilai P = 0,040.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Dampak dan penyebab Stunted. 2013.Diunduh
dari: http://www.indonesian-publichealth.com/2013/01/dampak-dan-penyebab-stunted.html. Diakses pada tanggal 17
Januari 2019
Anonim.
Kekurangan asupan Zic dan Protein dapat
menyebabkan stunting (pendek) pada anak.
[online]. [dikutip 17 Januari 2019]. Diunduh dari :
http://gizigizi.com/artikel/detail/kekurangan-asupan-zinc-dan-protein-dapat-menyebabkan-stunting-pendek-pada
-anak.
Demsa
S. 2007Model Prediksi Indeks Massa Tubuh
Remaja Berdasarkan Riwayat LahirDan Status Gizi Anak. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional 2013 Ags; 8(1) ;19-27.
Hidayat,2007.
Lokasi Penelitian Adalah Tempat Yang Akan Dilakukan
Oleh Peneliti Dalam Melaksanakan
Kegiatan Penelitian
Kesmas
2013. Anak Stunting Mempunyai Nilai
Indeks Perkembangan Motorik Lebih Rendah Dibandingkan Dengan Anak Yang Tidak
Stunting.
Kemenkes,2010“non public health problem’’ menurut
WHO.
Kowalski,K.,Crocker,P.,&
Donen,R2003 The Physical Activity Questionnaire
Kusharisupeni
2013, keterbatasan asupan energi dan zat gizi selama di dalamkandungan
Kusharisupeni
2013. Perubahan
Lingkungan Dengan Memberikan Asupan Gizi Lebih, Dalam Jangka Panjang Dapat
Beresiko Mengalami Obesitas Dan Peyakit Tidak Menular.
Mulyasari
I.2010.Hubungan Besar Uang Saku Dan
Frekuensi Konsumsi Fast Food Dengan Statuss Gizi Siswa [Karya Tulis
Mahasiswa]. Semarang ; Universitas Diponegoro;20077:1-9
Merryana
A, Bambang W. 2002 Peranan Gizi Dalam
Siklus Kehidupan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group;2014:P.323
Mahdiyah
J, Zulaikha, Asih EK 2002Peran Mahasiswa
Dalam Mengurangi Pola Konsumsi Fast Food Pada Remaja Kota. [Karya Tulis
Mahasiswa]. Bogor:IPB;2004:1-7.
MC.Donals.
2006 Mcdonalds USA Nutrition Facts For
Popular Menu Items,2015.
Notoadmojo
2009, 6 Tingkat Pengetahuan Yang
Mancakup Dalam DomainKognitif
Nur
Ratna I,2008Metode FFQ Semi Kuantitatif
Padmiari,
Ida AE, Hadi H. 2011 Prevalensi Obesitas
Dan Konsumsi Fast Food Dibagai Faktor Risiko Terjadinya Obesitas Pada Anak SD
Di Kota Denpasar,Bali. Jurnal Kedokteran Dan Farmasi Medika Maret 2003;Xxix
(3) :159-165
Kemenkes, 2013.Riset Kesehatan
Dasar 2013.Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Daerah
Sartika
RAD 2007 . Faktor Risiko Obesitas Pada
Anak 5-15 Tahun Di Indonesia. Makara, Kesehatan : Juni 2011;5 (1) : 37-43
Sanjaya
TS.2008Studi Tentang Berbagai Karakteristik
Remaja Yang Mengalami Obesitas Di SMP Pengudi Luhur Doenico Savio. [Karya
Tulis Ilmiah]. Semarang : Universitas Diponegoro ;1995:1-18.
Septiyani
R. Waspada Fast Food2007! [Karya
Tulis Ilmiah]. Jakarta: Universitas Mercu Buana;2011September; 14(3) 273-283.
Semba
Et All.,2008. Stunting Pada Anak Merupakan Hasil Jangka Panjang Konsumsi Diet
Berkualitas Rendah Yang Dikombinasikan Dengan Morbiditas, Penyakit Infeksi,Dan
Masalah Lingkungan.
Sheva A..2008Hubungan Konsumsi Fast Food dengan Obesitas Pada
remaja di SMPK Tunas Glorya Kupang
Sheva
A. 2007Frekuensi Konsumsi Fast Food
Lebih Dari 3 Kali Seminggu Memiliki Risiko
6 Kali Lipat Mengalami Obesitas.
Syarifah LH, Ari PD, Erwin.
2013.Hubungan antara Pengetahuan dan
Kebiasaan Mengkonsumsi Fast Food dengan Status Gizi Pada Remaja. Artikel ilmu
Keperawatan Universitas Riau 2013:1-10
Utami
NH, Dwi SKP. 2007 Risiko Terjadinya
Kegemukan Pada Anak Usia 3-5 Tahun Dengan Status Gizi Pendek Di Indonesia,
Jurnal Ekologi Kesehatan 2015
Winarsi
D.2002 Konsumsi Pangan Tidak Akan
Merugikan Jika Disertai Dengan Menu Yang Seimbang Dan Frekuensi Konsumsi Yang
Rendah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar